Pemerintah Indonesia memang telah menandatangani konvensi internasional tentang perlindungan seluruh orang dari penghilangan paksa pada tanggal 27 September 2010, namun hingga saat ini pemerintah belum meratifikasinya. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, meminta pemerintah segera meratifikasi konvensi tersebut.
“Agar tidak terulang kembali peristiwa penghilangan paksa orang di Indonesia,” ujarnya, Selasa (5/9).
Menurut Dimas, saat ini Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai kejahatan penghilangan paksa. Konvensi ini harus menjadi perhatian serius bagi pembuat undang-undang untuk memasukkan pasal-pasal yang berkaitan dengan penghilangan orang secara paksa ke dalam sistem pidana Indonesia.
Sayang sekali kita belum bisa menemukan hal itu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru direvisi, ujarnya.
Ia menambahkan, ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dapat memperkuat sistem legislasi nasional dan meningkatkan profesionalisme aparat keamanan dalam rangka melindungi masyarakat. Ratifikasi konvensi tersebut juga akan melindungi hak-hak saksi dan keluarga korban, hal ini penting untuk dapat memberikan jaminan keadilan dan reparasi menyeluruh yang masih belum dilakukan oleh pemerintah.
“Apa yang terjadi mendesak? Karena ini sebagai semangat untuk mencegah di kemudian hari praktik keji penghilangan orang secara paksa yang terjadi di Indonesia, jelasnya.
DPR Merekomendasikan Ratifikasi Konvensi Perlindungan Seluruh Orang dari Penghilangan Paksa
Jika Anda melihat timeline konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa. Padahal, ratifikasi konvensi tersebut merupakan amanat rekomendasi DPR RI periode 2004-2009. Ratifikasi ini juga dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2011-2014.
Kemudian, dalam evaluasi kinerja hak asasi manusia (HAM) melalui mekanisme Tinjauan Berkala Universal (UPR) siklus ketiga di bawah Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Mei 2017, pemerintah Indonesia kembali menegaskan komitmennya untuk segera meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 2021. Selanjutnya, ratifikasi rancangan undang-undang (RUU) tentang Konvensi Perlindungan Hak Asasi Manusia Semua Orang dari Disappearance Force, mulai dibahas pada tahun 2022.
Diplomat ahli madya Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Elleonora Tambunan mengatakan, ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa merupakan kepentingan utama pemerintah atas kewajiban internasional Indonesia untuk turut serta memajukan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. hak asasi Manusia.
“Tidak hanya di tingkat global. Tapi juga di dalam negeri,” ujarnya.
Elleonora mengatakan bahwa meratifikasi konvensi tersebut akan memperkuat upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat, termasuk memulihkan hak-hak korban dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran di masa depan. Apalagi, Indonesia saat ini sedang mengajukan nominasi menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2024-2026.
“Hal ini akan menambah kredibilitas peran dan prestasi Indonesia di tingkat global setelah kita berhasil menjadi ketua G-20 pada tahun lalu dan menjadi ketua ASEAN pada tahun ini. Selain itu, hal ini akan memperkuat modalitas Indonesia untuk kembali menjadi anggota. Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 2024,” katanya.
Sejarah Panjang
Indonesia mempunyai sejarah panjang mengenai penghilangan orang secara paksa, misalnya yang terjadi pada tahun 1965. Kemudian, operasi militer di Timor Timur (sekarang Timor Leste) pada tahun 1975-1999. Kemudian, operasi militer di Aceh pada tahun 1976-2005 hingga situasi konflik yang saat ini terjadi di Papua.
Korban penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia tidak memandang gender. Laki-laki dan perempuan tercatat menjadi korban penghilangan paksa.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan perempuan yang menjadi korban langsung penghilangan paksa harus menghadapi kekerasan fisik, psikologis, intimidasi, stigma, dan isolasi.
“Namun mereka juga sangat rentan mengalami kekerasan seksual dan diskriminasi,” ujarnya.
Tak hanya itu, perempuan yang merupakan kerabat korban penghilangan paksa juga menghadapi kekerasan psikologis karena diintimidasi.
“Mengalami kekerasan seksual dan penahanan sewenang-wenang, termasuk beberapa bentuk penyiksaan,” kata Andy Yentriyani.
Andy juga berharap pembahasan RUU Pengesahan Konvensi Internasional Perlindungan Seluruh Orang dari Penghilangan Paksa di parlemen segera terlaksana. Menurutnya, korban penghilangan paksa mempunyai hak untuk mengetahui kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM. Keluarga korban juga berhak mengetahui nasib keluarganya akibat penghilangan paksa.
“Para korban berharap pemulihan yang holistik juga dapat diperoleh, termasuk layanan kesehatan mental, dukungan sosial dan ekonomi. Upaya pemulihan yang dikembangkan secara mandiri oleh komunitas korban dan penyintas mendapat dukungan yang lebih besar dari negara,” kata Andy.
Rekomendasi Komnas Perempuan
Komnas Perempuan juga memberikan lima rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, segera meratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Kedua, memastikan nasib dan keberadaan orang-orang yang dihilangkan secara paksa, termasuk menerapkan status kematian dugaan atau surat keterangan khusus untuk mekanisme administratif lainnya. Ketiga, memberikan pemulihan yang mendesak bagi para korban dan keluarga penghilangan paksa tanpa menunggu prosedur hukum atau mekanisme administratif yang dapat membatasinya.
Keempat, memastikan lembaga-lembaga negara terkait dapat melakukan investigasi terhadap insiden penghilangan paksa. Kelima, mengintegrasikan pendekatan gender dalam setiap proses penyelesaian kasus penghilangan paksa.
Termasuk pencarian kebenaran, pembentukan komisi kebenaran, dan pemulihan korban, pungkas Andy. [aa/em]