Kerusuhan di Pulau Rempang, Riau, semakin menjadi sorotan media asing, Rabu (13/9). Reuters melaporkan kejadian ini dalam artikel berjudul “Polisi Indonesia menangkap 43 orang setelah kerusuhan di kawasan industri”.
Mengutip sumber kepolisian, media mengatakan polisi Indonesia telah menangkap 43 orang yang dituduh menyebabkan kerusuhan dan menyerang polisi atas rencana relokasi masyarakat untuk kawasan industri bernilai miliaran dolar.
Bentrokan dengan kekerasan meletus pada hari Senin di kota Batam, terletak sekitar 44 km dari Singapura, dimana sekitar 1.000 demonstran berkumpul di depan kantor BP Batam, salah satu pengembang proyek Rempang Eco City, tulis media tersebut.
Rekaman video di media lokal menunjukkan para demonstran melemparkan botol dan batu ke arah polisi dan merobohkan pagar, yang dibalas oleh polisi dengan meriam air dan gas air mata.
Rempang Eco City akan menjadi lokasi pabrik yang dioperasikan oleh produsen kaca asal China, Xinyi Glass Holdings Ltd, yang berkomitmen membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai US$11,5 miliar (sekitar Rp 173 triliun) di kawasan industri.
“Kami menangkap mereka karena melakukan vandalisme dan menentang polisi,” kata Juru Bicara Polda Kepri, kata Kombes. Pol. Pandra Arsyad menambahkan, massa aksi sudah dibubarkan pada sore harinya.
Presiden Joko Widodo pada Selasa mengatakan pemerintah berencana memberikan tanah dan rumah kepada setiap warga Pulau Rempang sebagai kompensasi relokasi.
“Tetapi hal ini tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Jadi, ini menjadi masalah,” ujarnya merujuk pada protes tersebut.
Sebelumnya, Juru Bicara Badan Pengusahaan (BP) Batam, Ariastuty Sirait melaporkan, warga enggan pindah karena sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan itu. Ia mengatakan, nantinya mereka akan menerima bantuan tunai hingga pemukiman baru selesai dan sekitar 700 kepala keluarga akan direlokasi pada tahap pertama.
Sementara itu, AsiaNews melaporkan, beberapa hari sebelumnya, lebih dari lima ribu anggota masyarakat adat etnis Melayu melakukan protes terhadap rencana pemerintah untuk “menghancurkan” 16 desa di Pulau Rempang, untuk memberi ruang bagi proyek industri China.
“Kami putus asa karena tuntutan kami untuk melestarikan desa kami diabaikan. Pemberontakan menjadi satu-satunya solusi untuk menyampaikan tuntutan kami,” kata Hazrin, seorang pengunjuk rasa yang bergabung dalam protes anti-pemerintah. Polisi setempat berusaha membubarkan para demonstran dengan menggunakan gas air mata.
Jakarta ingin memberikan ruang bagi grup Xinyi (Xinyi Glass dan Xinyi Solar, yang berbasis di Hong Kong) untuk pembangunan pabrik kaca industri dengan investasi senilai 11,6 miliar dolar, yang selanjutnya merupakan bagian dari proyek yang lebih besar bernama Rempang Eco City ( Rempang Eco City).
Dengan luas daratan 165 kilometer persegi, Rempang merupakan pulau yang sangat kecil namun strategis secara komersial berkat aksesnya ke Selat Malaka. Pulau ini berjarak tiga kilometer dari Pulau Batam, dengan jarak tempuh kurang lebih 20-30 menit dari Singapura dengan menggunakan kapal feri.
Ketika Menteri Investasi Bahlil Lahadia mengunjungi lokasi tersebut pada awal Agustus, ia menyatakan bahwa pabrik tersebut “akan menjadi produsen kaca dan energi surya nomor satu di dunia di luar Tiongkok daratan”, yang produknya akan melayani kebutuhan industri otomotif dan energi.
Menteri menambahkan, proyek tersebut akan menciptakan 35 ribu lapangan kerja. Namun sejumlah pihak meragukan hal tersebut. Merujuk pada apa yang terjadi di daerah lain, menurut mereka, industri hasil investasi Tiongkok cenderung mempekerjakan tenaga kerja terampil dari Tiongkok dibandingkan tenaga kerja lokal.
Masyarakat Indonesia melampiaskan kemarahannya dengan melakukan serangan serupa terhadap pabrik-pabrik Tiongkok, seperti yang terjadi beberapa bulan lalu di pabrik peleburan nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, di mana dua warga negara Indonesia dan seorang pria Tiongkok kehilangan nyawa dalam bentrokan tersebut.
Lahadia sempat menawarkan warga Rempang untuk pindah ke perumahan yang siap menampung mereka, namun masyarakat khawatir.
“Kami tidak menentang investasi asing, tapi tolong pastikan proyek ini tidak merusak desa adat Melayu kami. “Provinsi Kepri ini tidak kecil, jadi bisa saja proyek ini diadakan di daerah lain agar tidak merusak warisan sejarah dan adat kita,” jelas Samsudin, salah satu pengunjuk rasa.
Faktanya, menurut penduduk setempat, investasi Tiongkok yang bernilai miliaran dolar akan membahayakan warisan budaya dan gaya hidup tradisional desa-desa adat Melayu, tempat ribuan orang telah tinggal selama puluhan tahun dan sebagian besar bekerja sebagai nelayan. “Kami tidak bisa tinggal diam mengenai masalah ini karena warisan kami akan hilang ketika proyek industri berada di tanah kami,” kata para pengunjuk rasa.
Kepala BP Batam dan Wali Kota Batam Muhammad Rudi menjelaskan, permasalahan tersebut telah teratasi pada April lalu, ketika kompensasi finansial yang memadai bagi warga telah diberikan. Namun ini bukan pertama kalinya warga tidak menerima dana tersebut, kata beberapa pengunjuk rasa.
LSM lingkungan hidup Walhi juga mengklaim bahwa proyek bernilai miliaran dolar ini tidak terlalu “transparan” sejak awal, karena tuntutan penduduk setempat tidak pernah dipenuhi secara memadai.
Oleh karena itu, “kami meminta Presiden Indonesia Joko Widodo untuk menghentikan sementara proyek tersebut karena berpotensi membahayakan kehidupan tradisional masyarakat Melayu,” kata organisasi tersebut. [ab/lt]