Pabrik Aki Mobil Listrik Karawang Bisa Mulai Produksi Awal 2024

Hal itu disampaikan Jokowi usai meninjau langsung pabrik baterai sel pertama dan terbesar di Asia Tenggara, Kamis (14/9).

“Iya, PT HLI Green Power mulai awal tahun akan memproduksi 30 juta sel baterai yang akan digunakan untuk kurang lebih 180 ribu mobil. Ini yang terbesar di Asia Tenggara.” Asia Tenggara saat ini,” kata Jokowi.

Dijelaskannya, keberadaan pabrik ini merupakan bagian dari pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang besar (kendaraan listrik/EV) itulah tujuan pemerintah. Dengan begitu, kata dia, diharapkan Indonesia mampu masuk dan mendominasi rantai pasok kendaraan listrik global.

“Kita bisa masuk ke global supply chain. Disitulah ketergantungan negara lain terhadap baterai sel kita, ketergantungan negara lain terhadap baterai EV kita juga akan ada,” imbuh Jokowi.

Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang mendampingi Presiden mengatakan, pabrik sel baterai tersebut sudah mulai melakukan uji coba produksi.

Keberadaan pabrik aki mobil listrik menjadi salah satu pendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik di Indonesia.  (Biro Sekretariat Presiden)

Keberadaan pabrik aki mobil listrik menjadi salah satu pendukung berkembangnya ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. (Biro Sekretariat Presiden)

“Alhamdulillah, dua tahun lalu, tepatnya hari ini, kami berhasil terobosan menuju pembuatan baterai mobil, sel baterai, dan dua tahun kemudian sudah siap. Sekarang produknya sudah ada, sekarang masih trial and error. Mungkin Maret tahun depan sudah masuk produksi, kata Bahlil.

Menurut Bahlil, pabrik tersebut telah menerapkan teknologi terkini dari perusahaan multinasional LG dalam produksinya. Dari lima pabrik LG di dunia, yang menggunakan teknologi terkini adalah pabrik di Indonesia.

Lebih lanjut dia menjelaskan, kunjungan Presiden Jokowi kali ini dilakukan untuk meninjau perluasan produksi pabrik tahap kedua sebesar 20 GWh. Jika pabrik itu dibangun, kata dia, kapasitas produksinya mencapai 30 GWh.

“Jadi nanti LG akan membangun 30 Giga, dan ini komitmen investasi yang selama ini kita bicarakan, produksi aki mobil sering kita bicarakan, dan alhamdulillah sekarang sudah muncul,” ujarnya.

“Ini adalah mimpi Bapak Presiden yang selalu beliau arahkan kepada kita, para menterinya, untuk membangun hilirisasi. Jadi apa yang disampaikan Bapak Presiden selama ini, bukan sekedar omongan tapi ini bukti nyata dan ini benar-benar menggunakan teknologi tinggi.” anak-anak akan dioperasi karena mereka telah mengirim lebih dari 100 orang ke Korea untuk belajar di sana,” tambahnya.

Mampukah Indonesia Menjadi Raja Kendaraan Listrik di Masa Depan?

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan jalan Indonesia untuk menjadi raja kendaraan listrik masih cukup panjang dan berliku. Salah satu penyebabnya, kata Bhima, karena pemerintah hanya melakukan pendekatan terhadap bahan baku baterai kendaraan listrik milik Indonesia, yaitu nikel, yang diperkirakan akan habis dalam sepuluh tahun ke depan mengingat eksploitasi yang masif.

“Ternyata teknologi sudah berubah. Tesla sendiri sudah menggunakan lebih banyak baterai dibandingkan litium besi fosfat (LFP). Dan kemudian cadangan nikel kita semakin berkurang. Maka untuk menjadi raja baterai kendaraan listrik kini yang bisa diupayakan adalah menjadi hub, hub yang kompetitif. Dari segi tenaga kerja juga harus produktif agar lebih berdaya saing pusat perakitan Dibandingkan mengandalkan bahan baku,” kata Bhima.

Pabrik sel baterai kendaraan listrik pertama dan terbesar di Asia Tenggara ini rencananya akan mulai berproduksi tahun depan dengan produk awal 30 juta sel baterai.  (Biro Sekretariat Presiden)

Pabrik sel baterai kendaraan listrik pertama dan terbesar di Asia Tenggara ini rencananya akan mulai berproduksi tahun depan dengan produk awal 30 juta sel baterai. (Biro Sekretariat Presiden)

Lebih lanjut, Bhima mengatakan ada kemungkinan terjadinya fragmentasi pada rantai pasok baterai kendaraan listrik mengingat sebagian besar smelter pengolahan nikel mengekspor produksinya berupa bahan baku baterai listrik ke China. Dengan begitu, kata dia, pemenuhan industri baterai kendaraan listrik dalam negeri akan berkurang.

“Kalau ekspor ke China, perusahaan di Indonesia yang mengelola smelter dan hilirisasi juga milik China. Jadi begitu dikirim ke China, otomatis hilirisasi pasokan untuk industri dalam negeri berkurang. Sementara China juga akan mengekspor baterai dan mobil listrik ke Indonesia. Jadi ada fragmentasi yang jebol karena smelter nikel lebih ditujukan untuk ekspor, sehingga tidak ditujukan untuk memenuhi pasar dalam negeri, ujarnya.

Secara keseluruhan, kata Bima, hilirisasi industri yang dilakukan pemerintah belum berjalan maksimal. Ia mengatakan pemerintah perlu mencari cara lain agar pengembangan ekosistem kendaraan listrik berkelanjutan.

“Saat ini hilirisasi masih setengah jalan, karena mungkin masih diberikan insentif impor kendaraan listrik, sehingga preferensi perakitan, termasuk baterai listrik, sebagian besar belum dilakukan di Indonesia. Kami hanya melihat sisi positifnya. apakah ini bisa menjadi pengganti baterai yang selama ini kita impor dan kita juga harus mencari alternatif selain nikel yang juga bisa dijadikan bahan baku baterai seperti besi dan baja,” tutupnya. [gi/ab]

Tinggalkan Balasan