“Saya katakan kondisi fisik korban baik, namun secara psikologis kasus ini menyebabkan dia mengalami gangguan jiwa.”
Demikian petikan pernyataan Pendeta Yobelia Karmila Nova Bili, Pendeta Sinode Gereja Kristen Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang pertama kali mendampingi Bunga (bukan nama sebenarnya), warga Desa Waimangura, Kecamatan Weweha Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya. , yang awal bulan ini diculik secara tidak sengaja. secara terbuka oleh sekelompok laki-laki untuk menikahkan mereka secara paksa. Video yang viral di media sosial memperlihatkan Bunga ditangkap sambil berdiri di pinggir jalan, lalu dimasukkan ke dalam mobil menjemput. Ia berteriak minta tolong, namun sejumlah orang di sekitarnya tidak berbuat apa-apa. Mereka tampak tertegun dan hanya bisa terlihat sedih.
Salah satu warga merekam kejadian tersebut yang kemudian menjadi viral. Dalam rekaman video tersebut, terlihat Bunga dengan wajah ketakutan meronta tak berdaya, sementara sejumlah pria yang menculiknya tertawa gembira atas keberhasilan mereka menyeret gadis tersebut.
Berdasarkan laporan warga sekitar, sehari kemudian aparat keamanan bergerak cepat melakukan pengejaran dan berhasil membebaskan Bunga. Pendeta Yorbelia yang juga Koordinator PERUATI Sumba Sumba Barat Daya, bersama sejumlah aktivis perempuan lainnya yang telah lama aktif memperjuangkan penghapusan praktik kawin tawanan yang menyalahgunakan budaya sebagai tameng, bersama-sama mendampinginya. pada hari-hari pertama kesembuhannya.
Polisi Tetapkan Lima Orang Sebagai Tersangka, Termasuk Ibu Korban
Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan membenarkan empat pelaku penculikan yakni JBT, MN, HT dan VS telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat Pasal 238 KUHP sub Pasal 333 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sedangkan tersangka kelima, KT yang merupakan ibu korban, akan dijerat pasal yang lebih ringan karena permintaan sejumlah aktivis perempuan. Yang pasti, jika terbukti bersalah, kelimanya akan divonis sembilan tahun penjara.
Pengamat: Awalnya Tradisi Nikah Ditangkap Hanya untuk Perjodohan, Sekarang Disalahgunakan
Diwawancarai melalui telepon, aktivis perempuan dan peneliti studi gender Universitas Indonesia, Martha Hebi, mengakui pernikahan tangkap pada awalnya merupakan tradisi di Sumba, namun saat itu seluruh prosesnya terbuka dan baik.
“Praktik pernikahan tawanan ini sudah terjadi di masa lalu. Saya mendapat informasi langsung dari tetua adat. Namun dulu tujuan utamanya lebih kepada matchmaking. Sebab, dulu ada kesulitan komunikasi dan transportasi, sedangkan orang tua ingin anak perempuannya mencari pasangan yang aman dan dikenal, kalau bisa dari keluarga sendiri atau orang yang mereka kenal. “Dari proses komunikasi yang panjang, terjadilah persekongkolan, orang tua si laki-laki dan perempuan itu sudah saling kenal, dan si gadis diambil paksa, dibawa dan dinikahkan dengan orang yang juga sudah dikenalkan sebelumnya,” jelasnya.
“Dalam konteks sosial saat itu, hal ini dianggap bukan apa-apa. Namun setelah kita memiliki akses komunikasi dan transportasi yang baik, muncullah kebijakan untuk melindungi perempuan dan HAM, serta CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) telah diratifikasi “atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), serta resolusi anti-penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, dan berbagai undang-undang kita saat ini, praktik pernikahan tawanan sudah tidak sesuai lagi. Padahal, hal tersebut harus ditinggalkan karena merendahkan harkat dan martabat perempuan,” imbuh Martha.
Pendeta Aprissa Taranau yang juga penasihat Persekutuan Perempuan Terdidik Teologi Seluruh Indonesia untuk Sumba mengatakan, sejak lama ia menolak menganggap nikah tangkap sebagai tradisi belaka karena dalam praktiknya justru digunakan untuk memaksakan kekerasan terhadap wanita.
“Secara historis, ini bagian dari tradisi, namun kini saya tidak mau lagi terjebak karena sejak menulis tesis pada tahun 2009 saya melihat kawin tawan ini sebagai kawin paksa terhadap perempuan dan kekerasan berlapis,” jelasnya.
Urgensi Edukasi dan Sosialisasi Kepada Warga
Lebih lanjut Aprissa mengatakan, harus ada edukasi dan sosialisasi di tingkat akar rumput bahwa perampasan pernikahan tidak lagi seperti tradisi awal, namun sudah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Pemberian edukasi seperti ini tidak hanya di sekolah, tapi juga di forum diskusi dan pertemuan masyarakat. Sebagai seorang pendeta, misalnya, saya tidak hanya menggunakan mimbar saya untuk menyampaikan harapan kepada Tuhan, tetapi juga untuk berbicara tentang hak-hak perempuan dan perlunya memperlakukan perempuan sebagai subjek yang setara. Kita bersinergi dengan pemerintah, organisasi kemanusiaan dan masyarakat, kita semua harus bahu membahu karena perjuangan memberantas pernikahan tawanan masih panjang. “Kita tidak bisa bekerja sendiri, apalagi sudah lama ada miskonsepsi mengenai kawin tawanan,” lanjut Aprisa.
Martha Hebi percaya bahwa cara paling sederhana untuk membuka mata masyarakat tentang pernikahan tawanan adalah dengan melakukan percakapan dari hati ke hati di semua tingkatan.
“Di akar rumput ada diskusi dari hati ke hati soal ini, karena kalau tiba-tiba bicara soal hukum maka masyarakat akan menolak karena menganggap ini tradisi yang harus dipertahankan. Tapi kalau kita bicara tentang luka yang dialami perempuan. , fisik dan psikis, dan betapa lamanya penyembuhan luka yang dialami saudara-saudaranya, warga bisa menerimanya.Dalam diskusi ini saya pernah menyampaikan bagaimana seorang perempuan yang saya ajak bicara di tahun 1980-an karena menjadi korban pernikahan tawanan, lalu saya bertemu lagi di tahun 2019, masih berbicara dengan nada kesakitan, marah, kecewa. Bayangkan, lebih dari 30 tahun kemudian, lukanya masih terbuka, tambah Martha.
Pejabat Diminta Lanjutkan Kasus ke Pengadilan
Pendeta Yobelia yang selama ini mendampingi Bunga, perempuan di Sumba Barat Daya yang menjadi korban pernikahan yang ditangkap awal bulan ini, mengatakan, pihaknya terus mendorong polisi untuk membawa kasus ini ke pengadilan.
“Kami bersama pemerintah daerah dan beberapa yayasan kemanusiaan berjuang untuk terus mendorong pihak kepolisian untuk melanjutkan proses hukum hingga ke pengadilan untuk mencegah terulangnya kasus yang sama. Sejauh ini sudah ada lima tersangka, empat laki-laki dan satu perempuan, Yakni ibu korban.“Dia dijadikan tersangka karena dari mulutnya sendiri dia mengatakan bahwa dialah yang mendorong pernikahan putrinya,” kata Yobelia.
“Sampai saat ini korban sudah di visum, tidak ditemukan adanya kekerasan seksual maupun hal-hal buruk lainnya, sehingga pihak Polres Sumba Barat Daya mendalami kasus penculikan ini mengingat korban ditarik paksa dan dimasukkan ke dalam mobil pikap. sudah berusia 20 tahun, pelaku tidak dapat dijerat” dengan pasal kekerasan terhadap anak. Meski usianya 20 tahun, dia masih duduk di bangku kelas III SMA,” imbuhnya.
Komnas Perempuan Puji Kinerja Polres Sumba Barat Daya
Komnas Perempuan memuji langkah polisi yang menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya pasal 10, sebagai “sebuah langkah maju dalam penanganan kasus pernikahan yang ditangkap.” Bersama beberapa pasal lain dalam KUHP, korban diharapkan mendapat perlindungan, pendampingan, dan pemulihan yang memadai.
Namun Komnas Perempuan secara khusus meminta polisi “menerapkan kepekaan terhadap kerentanan khusus perempuan dalam mengusut kasus perempuan yang berhadapan dengan hukum” saat mengusut KT, ibu korban. Hal ini termasuk mempertimbangkan “beban dan kekhawatiran” yang dihadapi seorang ibu sebagai orang tua tunggal, serta konstruksi dan kondisi sosial yang memungkinkan seorang ibu mengambil langkah-langkah tertentu yang diyakininya bertujuan untuk menyelamatkan anak dan keluarganya. “Dengan penerapan ini, selain mematahkan impunitas, proses hukum juga menjadi lebih manusiawi dan adil,” tambah Komnas Perempuan. [em/jm]