Mencari Pintu Keluar Lempang di Rempang

Di tengah cuaca panas dan hembusan angin laut, FA bersama sekitar sepuluh temannya berkumpul di depan musala desa. Rempang, tempat tinggal FA, merupakan sebuah pulau kecil yang termasuk dalam gugusan pulau di Batam. Dalam dua pekan terakhir, seperti anak-anak Rempang lainnya, FA menjadi bagian tak terpisahkan dari konflik akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City di kawasan tersebut. KILAT NUSANTARA hanya menyebutkan inisial demi keamanan sumber kami pada saat yang sensitif ini di Rempang.

Kami ingin sekolah di sini. Kami ingin mengaji di sini. Kami ingin bermain di sini. Kalau mereka digusur, lapangan di sana tidak luas, banyak sekali. orang di sini,” ujar FA dengan logat Melayu kental saat berbincang dengan KILAT NUSANTARA.

Rempang strategis karena terletak di segitiga emas, dekat dengan Singapura dan Malaysia. Luasnya sekitar 17 ribu hektare. Pemerintah mengklaim hanya kurang dari separuh kawasan yang akan dikelola sebagai kawasan industri, wisata, perdagangan, dan pemukiman. Sisanya akan dibiarkan menjadi hutan.

Sebuah SMP tempat sedikitnya 25 siswanya dilarikan ke rumah sakit setelah terkena gas air mata saat bentrok antara warga dan aparat keamanan di Tanjung Kertang di Pulau Rempang, 18 September 2023. (Bay ISMOYO / AFP)

Sebuah SMP tempat sedikitnya 25 siswanya dilarikan ke rumah sakit setelah terkena gas air mata saat bentrok antara warga dan aparat keamanan di Tanjung Kertang di Pulau Rempang, 18 September 2023. (Bay ISMOYO / AFP)

Pada tahap awal, menurut Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, kawasan ini diminati perusahaan kaca terbesar dunia asal China, Xinyi Group. Mereka berencana berinvestasi US$ 11,5 miliar atau setara Rp. 174 triliun pada tahun 2080.

“Jadi luasnya kurang lebih 7.000 (hektar) yang bisa dikelola. Untuk kawasan industri tahap pertama kita kurang lebih 2.000-2.500 hektar,” kata Bahlil saat berkunjung ke Rempang, 17 September 2023.

Tanpa Sosialisasi Mungkinkah Tercapai Kesepakatan?

Sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Batam, Pulau Rempang sebenarnya sudah masuk dalam perencanaan kawasan industri sejak tahun 2001. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam beberapa kesempatan menjelaskan, permasalahan menjadi rumit akibat kesalahan pemberian. izin dari kementerian saat itu.

Saat ini terdapat 16 desa adat Melayu dengan sekitar 7.500 penduduk yang akan terkena dampak investasi tersebut. Bentrokan 7 September yang melibatkan ribuan aparat keamanan dan warga Rempang, menggambarkan betapa perebutan lahan di pulau itu mencapai puncaknya.

Namun Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah tidak akan merelokasi warga Rempang "menggeser." (Sumber : Setpres RI)

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, pemerintah tidak merelokasi warga Rempang, melainkan melakukan “shifting”. (Sumber: Sekretariat Presiden RI)

Untuk mengurangi kekerasan, pemerintah menjanjikan sejumlah hal. Pasukan keamanan ditarik, dan proses dialog akan dilakukan. Menteri Bahlil mengatakan, pemerintah tidak akan melakukan relokasi, melainkan “shift”. Uang pengganti, rumah, dan tanah disiapkan agar warga Rempang menerima rencana tersebut.

“Proses penanganan rimpang harus dilakukan dengan cara yang tepat lembut, yang bagus. Dan kami tetap memberikan apresiasi kepada masyarakat yang sudah turun temurun berada di sana. Kita harus berkomunikasi dengan baik, sebagaimana mestinya. Kami berdua orang desa. Jadi harus kita bicarakan,” kata Bahlil di Batam.

Masalahnya, seperti dituturkan AS, perempuan warga Rempang, sejak awal pemerintah tidak memberikan sosialisasi kepada mereka. Kabar rencana pendirian pabrik hanya beredar tak jelas.

AS, seperti kebanyakan warga Rempang saat ini, terlalu takut untuk berbicara kepada media. Namanya juga telah diubah demi alasan keamanan. Kepada KILAT NUSANTARA, AS mengaku belum pernah menerima sosialisasi atau sekadar pemberitahuan soal rencana investasi. “Untuk saat ini masyarakat kita masih menolak. “Cukup kondusif, tidak seperti kemarin, jalan kita sekat,” ucapnya. “Siapa yang mau desa kita, sejak kita lahir di sini, nenek moyang kita ada di sini, lalu mau dipindahkan ke desa yang tidak kita ketahui,” imbuhnya.

AS mengaku kaget, banyak lahan kosong di Rempang, namun warga terpaksa dipindahkan untuk dijadikan jalan pabrik. Dia tidak menentang pembangunan, malah menyambut baik, namun seharusnya warga kampung Melayu tidak perlu direlokasi.

Perahu pencari ikan dan rumput laut digunakan oleh nelayan yang tinggal di kawasan Sembulang, Kecamatan Galang, Rempang.  (KILAT NUSANTARA/Indra Yoga)

Perahu pencari ikan dan rumput laut digunakan oleh nelayan yang tinggal di kawasan Sembulang, Kecamatan Galang, Rempang. (KILAT NUSANTARA/Indra Yoga)

Selain sejarah desa tersebut, di mata AS, relokasi juga berdampak pada mata pencaharian mereka. Bagi warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan, keberadaan dermaga menjadi penting dan belum diketahui apakah di lokasi baru tersebut akan terdapat fasilitas serupa. Begitu pula dengan warga yang bertani, belum jelas apakah kebunnya akan mendapat pengganti.

“Kami sangat keberatan dengan hal ini. Kita tidak bisa menolak pemerintah. Harapannya, kita tidak mau dipindahkan dari sini, tambahnya.

Apakah relokasi akan dipatuhi? Menurut AS, kesepakatan warga adalah kuncinya. Baginya, pilihan warga desa akan menjadi keputusan kolektif. “Bagi saya, kita ikuti saja keputusan mayoritas. Kalau orang lain mau, kita sendiri tidak mau, kita juga tidak bisa. Tapi kalau orang lain tidak mau, kita ikut saja. dengan mereka yang tidak menginginkannya,” ucapnya lirih.

Ibu seorang siswa menangis saat diwawancarai AFP usai bentrokan antara warga dan aparat keamanan di sebuah SMP di Tanjung Kertang, Pulau Rempang, 18 September 2023. (Bay ISMOYO / AFP)

Ibu seorang siswa menangis saat diwawancarai AFP usai bentrokan antara warga dan aparat keamanan di sebuah SMP di Tanjung Kertang, Pulau Rempang, 18 September 2023. (Bay ISMOYO / AFP)

Terkait relokasi ini, AS dan sebagian besar warga Rempang sudah mendengarnya. Begitu pula dengan rumah pengganti dan lahan yang disediakan pemerintah di lokasi baru. Masalahnya, kata AS, semua itu masih sebatas janji. Warga masih menunggu ganti rugi yang belum jelas. Tak mungkin, kata AS, meninggalkan rumah yang sudah lama mereka tinggali, padahal rumah penggantinya pun belum selesai dibangun.

“Kami juga harus menunggu ganti ruginya di sini bagaimana, perlu kejelasan juga. Nanti tiba-tiba kami pindah, rumah kami di sini tidak dibayar. Kami tidak mau,” jelasnya.

Harapkan Perubahan Pendekatan

Di Rempang, KILAT NUSANTARA juga bertemu dengan Devianti Noor, aktivis sosial yang juga sekretaris Yayasan United Melayu Bakti. “Kami tidak memblokir investasi yang masuk. “Tetapi dengan cara yang humanis, dan saling memanusiakan,” ujarnya.

Devianti baru-baru ini membantu warga Rempang dalam krisis yang sedang berlangsung. Organisasi tempat Devi bekerja memberikan dukungan moril karena menurutnya fenomena miris di depan mata berpotensi melanggar HAM.

“Kami mohon kepada Presiden RI Pak Joko Widodo untuk memikirkan kembali Rempang Eco City yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional ini, agar tidak dilakukan dan belum dilakukan relokasi. Hal ini terkait dengan aksi pada tanggal 7 hingga 11 September. ,” tambah Devianti.

Pihaknya juga mendesak Komnas HAM mencari fakta di lapangan dan mengkaji kemungkinan pelanggaran HAM. Begitu pula dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang didesak terlebih dahulu membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas masalah ini. Bila perlu, DPR akan mengundang para pakar, mulai dari sejarawan, geologi, hingga lingkungan hidup, untuk membahas Rempang.

Dalam keterangan resminya, Anggota Komisi II Guspardi Gaus mengaku masih melihat adanya upaya kekerasan di Rempang. Guspardi mengungkapkan, banyak laporan terkait hal tersebut yang masuk kepadanya. “Sampai saat ini WA (WhatsApp) tersebar di kita dan seluruh anggota dewan serta seluruh komunitas WA tersebar. Dimana banyak beredar pendekatan-pendekatan anarkis dan koersif. Oleh karena itu, tentunya perlu disikapi oleh pemerintah daerah, ” dia berkata.

“Jangan sampai masyarakat dengan proyek strategis nasional ini semakin menderita dan semakin miskin. Tujuan negara ini adalah mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera,” kata Guspardi lagi.

Presiden meminta agar pemukiman Rempang tetap mengedepankan kepentingan masyarakat

Presiden Joko Widodo sendiri menggelar rapat terbatas dengan sejumlah anak buahnya pada 25 September lalu.

Instruksi Presiden pada rapat pertama, penyelesaian masalah Rempang harus dilakukan dengan baik, benar-benar kekeluargaan, dan tetap mengedepankan hak dan kepentingan masyarakat sekitar lokasi diadakannya, jelas Bahlil Lahadalia. di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. setelah pertemuan.

Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (25/9) memerintahkan agar penyelesaian Rempang dilakukan dengan "tetap mengedepankan hak dan kepentingan masyarakat.  (Sumber: Sekretariat Presiden RI)

Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (25/9) memerintahkan agar penyelesaian Rempang dilakukan dengan “tetap mengedepankan hak dan kepentingan masyarakat”. (Sumber: Sekretariat Presiden RI)

Pemerintah memutuskan untuk memindahkan begitu saja warga Rempang dari desanya ke lokasi lain namun tetap di pulau yang sama. “Dulu kami ingin pindah dari Rempang ke Galang, tapi sekarang hanya dari Rempang ke desa yang masih di Rempang,” tegasnya.

Menurut Bahlil, sudah ada 300 kepala keluarga dari total 900 KK yang bersedia direlokasi. Masyarakat juga akan diberikan tanah seluas 500 meter persegi beserta sertifikat hak milik dan akan dibangun rumah tipe 45.

Dalam proses transisi “pergeseran” ini, kata Bahlil, masyarakat juga akan mendapat uang tunggu sebesar Rp1,2 juta per orang dan uang kontrak rumah sebesar Rp1,2 juta per keluarga. Bahlil mencontohkan, jika dalam satu keluarga ada empat orang maka akan mendapat uang tunggu sebesar Rp4,8 juta dan uang kontrak rumah sebesar Rp1,2 juta sehingga totalnya Rp6 juta.

Sekali lagi, semua itu masih di atas kertas, karena hingga laporan ini disampaikan, proses “shift” yang seharusnya dilakukan secara terbuka dan transparan, ternyata dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tim KILAT NUSANTARA yang mendatangi lokasi “penggeseran” warga dilarang mengambil foto dan video. [ns/iy/em]

Tinggalkan Balasan