Mereka Berteriak, Menangis, Berteriak Melawan Penyakit

Terapi katarsis, atau metode pengobatan yang melibatkan pelepasan emosi, belakangan ini mendapat banyak perhatian di Indonesia. Terapi yang mendorong pasien untuk berteriak, menjerit, dan menangis ini diyakini mampu mengatasi masalah psikologis sehingga dapat membantu mengatasi masalah kesehatan mental dan fisik. Seorang dokter umum di Bali mempraktikkannya, dan banyak pasiennya yang mengaku berhasil disembuhkan.

Berteriak, menangis, menjerit. Hal itulah yang dilakukan para peserta pada sesi terapi katarsis yang berlangsung di Ubud, Bali. Di tempat itu, melampiaskan emosi sangat dianjurkan. Menurut banyak peserta, dengan melepaskan kesedihan, kemarahan dan gejolak emosi, masalah kesehatan fisik, mental atau keduanya, dapat diringankan atau bahkan disembuhkan.

Santi Johar pernah menjalani terapi tersebut dan mengaku berhasil pulih dari depresi berat yang hampir merenggut nyawanya. Di usianya yang ke-47, warga Jakarta ini mengaku sudah tiga kali mencoba bunuh diri namun gagal. Sampai-sampai dia berpikir, “dunia lain” enggan menerima kehadirannya.

“Saat itu saya merasa hidup saya gagal total. Itu menjadi penyebab kekecewaan banyak orang dan saya tidak punya siapa pun untuk berbagi cerita,” jelasnya.

Santi Johar mengaku berhasil disembuhkan setelah tiga kali mencoba bunuh diri.  (Dokumentasi Pribadi)

Santi Johar mengaku berhasil disembuhkan setelah tiga kali mencoba bunuh diri. (Dokumentasi Pribadi)

Santi sendiri tidak membeberkan penyebab depresi yang membuatnya ingin mengakhiri hidup. Pegawai perusahaan asuransi tersebut hanya mengungkapkan bahwa di masa suram hidupnya itu ia tidak dapat memahami dirinya sendiri, dan tidak mampu menemukan makna hidup.

Dia telah mencoba mencari bantuan. Namun ternyata hal itu tidak mudah. Santi bahkan merasa semakin terisolasi karena banyak orang yang menghubungkan kesehatan mentalnya dengan aktivitas keagamaannya. Dia ingat orang-orang mengatakan bahwa kurangnya ketaatannya untuk berdoa adalah akar dari masalah kesehatan mentalnya, sesuatu yang dia sangkal.

Perubahan baru terjadi setelah ia bertemu dengan dokter asal Bali, Gusti Putu Darmika. Biasa disapa Darmika, dokter umum ini menuntun Santi menjalani terapi katarsis. Santi mengaku tak lagi memiliki pikiran untuk bunuh diri setelah menjalani tiga sesi pertemuan pada tahun lalu, satu online dan dua offline, yang menguras emosinya. Ia mengatakan Darmika berhasil membantunya melepaskan emosi yang terpendam dengan membuatnya menangis dan menjerit.

“Rasanya seperti ada pedang berkarat yang dicabut” kata Santi.

Santi tidak malu dengan masa lalunya. Ia justru merasa perlu menceritakan kisah hidupnya yang bagi banyak orang cenderung dirahasiakan. “Saya merasa harus menyebarkan cerita ini agar tidak ada orang lain yang melakukan hal serupa,” jelasnya.

Wulan Amiruly bersama keluarga.  Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) menghilang setelah terapi katarsis.  (Dokumentasi Pribadi)

Wulan Amiruly bersama keluarga. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) menghilang setelah terapi katarsis. (Dokumentasi Pribadi)

Wulan Amiruly, warga Jakarta, pun merasa gangguan kesehatannya bisa disembuhkan melalui terapi katarsis. Ibu dua anak ini dulunya selalu mengalami serangan panik akibat sakit refluks gastroesofageal (GERD) atau penyakit asam lambung yang dideritanya. Mengetahui ada yang tidak beres dengan tubuhnya, ia mencari solusinya dengan mengunjungi dokter dan diberikan obat GERD.

Wanita berusia 40 tahun ini disarankan mengonsumsi minimal 21 pil setiap hari. Atas serangan panik yang dideritanya yang bisa berlangsung selama 30-40 menit, ia memeriksakan diri ke psikiater dan mendapat sejumlah pil tambahan. Namun, dengan puluhan pil yang dikonsumsi setiap hari, penyakit itu tak kunjung hilang dari tubuhnya, dan pengobatan dari psikiater justru membuat Wulan serasa dibius (terbang).

Perubahan itu terjadi setelah mengikuti beberapa kelas katarsis yang diadakan Darmika. Suami Wulan, Michael Pranolo mengatakan, “GERDnya sudah hilang. Sekitar 98 persen hilang. Istri saya tidak perlu membawa obat lagi. Dulu, selama dua tahun terakhir, kita selalu membawa obat kemana-mana. Obat-obatan harus selalu ada di saku Anda, Anda harus melakukannya bersiap.”

Retret Katarsis.  Darmika memberikan bimbingan kepada sejumlah pasien di sebuah retret di Bali.  (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Retret Katarsis. Darmika memberikan bimbingan kepada sejumlah pasien di sebuah retret di Bali. (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Michael mengatakan, kesembuhan istrinya merupakan suatu kelegaan yang luar biasa. Ia mengatakan, sebelumnya jika bepergian jauh, keluarganya selalu memastikan lokasinya dekat dengan fasilitas pelayanan darurat. “Sangat meresahkan, rumah tangga juga terganggu. “Kalau istri saya sakit, ibu anak-anaknya sakit, semuanya terganggu,” komentarnya.

Menurut suaminya, setelah menjalani terapi katarsis, GERD yang dialami Wulan dan serangan panik yang menyertainya erat kaitannya dengan masa kecil Wulan yang “trauma”, tanpa dijelaskan lebih jauh.

Usai terapi, Wulan juga tak harus mengikuti anjuran dokter sebelumnya yang mengharuskan dirinya mengonsumsi makanan dalam porsi kecil setiap satu atau dua jam. Wulan kini hanya perlu makan dua kali sehari.

Menurut Darmika, terapi katarsis merupakan praktik yang memfasilitasi ekspresi emosi mendalam dalam lingkungan yang tidak menghakimi dan menerima. Secara sederhana, terapi ini sering diartikan sebagai pelepasan emosi.

“Dengan melepaskan emosi, secara fisik kita akan mengalami relaksasi dan hal ini mempengaruhi sistem imun dan sistem organ dalam tubuh,” jelasnya.

Dia mengatakan melepaskan emosi dan memprosesnya telah terbukti mengurangi prevalensi pola pikir depresi dan cemas sekaligus meningkatkan kemungkinan pandangan yang lebih konstruktif dan penuh harapan. Secara umum, katarsis dikenal sebagai teknik yang mendorong pelepasan emosi melalui mekanisme seperti berteriak, menangis, atau melakukan berbagai aktivitas lain di ruang amarah.

Retret Katarsis- (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Retret Katarsis- (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Darmika sendiri awalnya tidak tertarik dan pesimis dengan terapi ini, dan menganggap mekanisme tersebut berkaitan dengan ilmu mistik. Namun, atas desakan rekan-rekannya, ia kemudian mengikuti beberapa sesi katarsis yang menggunakan teriakan sebagai strateginya, dan menemukan bahwa berteriak memiliki dampak yang unik pada setiap orang.

Setelah mempelajarinya pada tahun 2014, kemudian mengajarkannya dan mempraktikkannya pada pasien, hasilnya sungguh mengejutkan. “Kalau tahun 2012 atau 2013 saya tidak praktek kartasis, banyak (pasien) yang gagal (sembuh). Saya merasa apa yang saya lakukan tidak demikian bekerja. “Ketika saya mulai melakukan katarsis pada tahun 2014, hasilnya meningkat hingga 80 persen,” jelasnya.

Retret Katarsis- (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Retret Katarsis- (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Keberhasilan tersebut mendorong Darmika yang mengaku tidak memiliki pendidikan dasar di bidang psikologi, untuk mempraktekkannya secara intensif dalam empat tahun terakhir. Diakuinya, jumlah pasien berkisar 70-80 orang per bulan, dimana lebih dari separuhnya melakukan konsultasi pribadi.

Pasiennya tidak hanya berasal dari Bali dan Jakarta, melainkan dari berbagai wilayah Indonesia. Ia bahkan sempat kedatangan sejumlah pasien dari luar negeri, termasuk seorang warga negara Jerman yang mengaku telah sembuh setelah sebelumnya menjalani perawatan jiwa di negaranya selama 10 tahun tanpa hasil.

Darmika sendiri tidak memiliki klinik khusus, namun sebulan sekali ia mengadakan pertemuan tatap muka yang menekankan pada terapi tersebut, yang disebut retret di Jakarta atau Bali yang diikuti puluhan orang. Ia juga membuka kelas online yang kerap diikuti puluhan orang.

Darmika mengatakan, berdasarkan pengalaman, banyak masalah kesehatan yang bisa diatasi dengan terapi katarsis.

“Yang paling umum adalah gangguan mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan psikosomatis, atau penyakit yang berakar pada masalah psikologis namun memiliki gejala fisik,” ujarnya.

Gusti Putu Darmika – Setelah memasukkan terapi katarsis, keberhasilannya dalam menyembuhkan gangguan kesehatan meningkat hingga 80%.  (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Gusti Putu Darmika – Setelah memasukkan terapi katarsis, keberhasilannya dalam menyembuhkan gangguan kesehatan meningkat hingga 80%. (Dokumentasi oleh Gusti Putu Darmika)

Satu-satunya gangguan mental yang tidak dapat diobati dengan teknik katarsis adalah skizofrenia. “Karena hubungan antara pikiran dan perasaan telah hilang. Jadi saya bisa membantu orang jika pikiran dan emosinya masih tenang terhubung,” dia menambahkan.

Pendapat Darmika yang menyebut pelepasan emosi bisa membantu mengatasi masalah kesehatan ada benarnya. Sejumlah penelitian, termasuk yang dilakukan oleh Universitas Harvard, menunjukkan bahwa menangis efektif menghilangkan hormon stres dan bahan kimia berbahaya lainnya dari dalam tubuh. Saat seseorang menangis, tubuhnya melepaskan endorfin dan zat kimia oksitosin yang membuat mereka merasa nyaman. Singkatnya, individu dapat meringankan penderitaan mental dan fisik dengan menangis, menjerit, atau melepaskan emosi.

Dokter berusia 40 tahun ini mengklaim bahwa orang akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar ketika bertindak autentik dan tampil apa adanya dalam situasi sosial apa pun. Namun, Darmika mengungkapkan, banyak orang yang sengaja menahan emosinya untuk menyenangkan orang lain atau menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Sikap seperti itu, kata dia, salah dan bisa mengundang masalah kejiwaan di kemudian hari.

Masalah kesehatan mental tidak bisa dianggap remeh di Indonesia. Kementerian Kesehatan pada tahun 2022 melaporkan lebih dari 19 juta orang di Indonesia (berusia di atas 15 tahun) menderita masalah kesehatan mental. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), setidaknya 12 juta orang (di atas 15 tahun) di Indonesia menderita depresi pada tahun 2018.

Psikolog klinis yang berbasis di Jakarta, Yunike Balsa Rhapsodia, menjelaskan terapi katarsis adalah istilah yang kurang tepat. Menurutnya, katarsis pada hakikatnya hanyalah salah satu bagian dari proses terapi atau penyembuhan. Namun, kata dia, katarsis yang secara harafiah berarti pelepasan emosi merupakan bagian penting dari proses tersebut.

Yunike Balsa Rhapsodia, psikolog klinis yang berbasis di Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

Yunike Balsa Rhapsodia, psikolog klinis yang berbasis di Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

Balsa, 32, mengibaratkan emosi dengan energi yang bergerak. “Energi itu perlu disalurkan. Tidak dapat dihilangkan, tidak dapat dimusnahkan. Energi pada dasarnya bergerak. Jika kita menekan emosi kita, emosi tersebut akan tertahan di dalam tubuh kita. “Jadi melepaskan emosi itu pada dasarnya bagus,” imbuhnya.

Menurut Balsa, saat ini banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi fisik seseorang dengan kondisi mentalnya. Sebuah penelitian di University College London, misalnya, menunjukkan bahwa kanker darah dan kanker kerongkongan lebih mungkin terjadi pada mereka yang sering mengalami stres. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Montreal Hearts Institute mengungkapkan bahwa stres kronis dapat mempengaruhi kesehatan jantung.

Oleh karena itu, kata dia, sangat penting untuk mengatasi kondisi mental dalam proses penyembuhan suatu penyakit. Meski kita tidak melihat sebab dan akibat pastinya, tapi itu adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Kondisi fisik mempengaruhi kondisi mental, dan sebaiknya kondisi mental mempengaruhi kondisi fisik, jelas Balsa. .

Meski demikian, Balsa mengatakan terapi katarsis tidak boleh dilakukan sendiri atau atas inisiatif sendiri. Ia menekankan, siapa pun yang membutuhkan perhatian medis harus berkonsultasi dengan profesional terlatih, seperti psikolog, psikiater, dan praktisi kesehatan mental. Pernyataan Balsa merujuk pada menjamurnya fasilitas rage room di banyak kota besar yang kerap disebut-sebut sebagai obat penyembuh stres atau depresi.

Katanya, fasilitas seperti itu sebenarnya tidak melatih keterampilan konstruktif, dan tidak memberikan kontribusi keterampilan mengatasi masalah jangka panjang. “Mereka (praktisi kesehatan jiwa) perlu mendampingi hal ini, apalagi jika pelepasan emosi tersebut terkait dengan peristiwa traumatis,” tegasnya. [ab/uh]

Tinggalkan Balasan