Indonesia Siapkan Dana Hibah Atasi Perubahan Iklim

Komitmen tersebut disampaikan Jokowi usai memimpin Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Archipelagic and Island States (AIS) di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali, Rabu (11/10).

“Indonesia juga berkomitmen menyiapkan dana hibah yang akan digunakan terutama dalam mengatasi perubahan iklim, serta mengembangkan inovasi baru dan tata kelola kelautan yang berkelanjutan,” kata Jokowi.

Hal ini bukan tanpa alasan. Jokowi mengatakan, negara kepulauan dan kepulauan merupakan negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim sehingga memerlukan inovasi dan teknologi terkini untuk mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, kata dia, forum AIS mendorong pengembangan inovasi yang mencakup empat bidang kerja sama, yaitu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; penerapan ekonomi biru; perlindungan ekosistem laut; dan tata kelola kelautan yang baik.

“Dan sebagai negara kepulauan, tentunya hal ini akan sangat bermanfaat bagi masyarakat karena laut merupakan sumber kehidupan. Terutama para nelayan. Dan inovasi yang ditemukan bisa kita terapkan,” jelasnya.

Lebih lanjut Jokowi menjelaskan, pelaksanaan KTT AIS merupakan salah satu komitmen Indonesia untuk bekerja sama di tingkat yang lebih tinggi dan mengambil langkah nyata dalam menangani permasalahan regional dan dunia serta terus menyuarakan kepentingan negara berkembang dan negara kepulauan.

Forum ini, kata Jokowi, juga telah sepakat untuk menjunjung tinggi prinsip solidaritas, kesetaraan, dan inklusivitas sebagai landasan bersama dalam bekerja sama. Jokowi menegaskan, negara berkembang dan negara kepulauan mempunyai hak yang sama untuk maju dan melaksanakan pembangunan.

Jokowi juga mengklaim, sejak pembentukannya, AIS Forum telah memberikan manfaat nyata bagi masyarakat di negara kepulauan dan kepulauan, termasuk masyarakat pesisir, melalui pemberian beasiswa mahasiswa, pendanaan penelitian bersama, pengembangan hub AIS Blue Start Up, pelatihan digitalisasi UMKM, dan mengembangkan pendanaan inovatif. Selain itu, kata dia, forum ini juga memberikan manfaat strategis terkait penghitungan karbon laut dan pelestarian hutan mangrove.

“Bagi Indonesia, laut bukanlah sebuah pemisah. Namun laut sebenarnya adalah pemersatu, laut justru menjadi perekat dan penghubung. Oleh karena itu, pada forum AIS, Indonesia mengajak seluruh negara yang hadir untuk menjaga persatuan dan kolaborasi meski di tengah dunia yang terpecah karena kolaborasi adalah kunci kemajuan, ”tegasnya.

Presiden Jokowi memimpin Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Negara Kepulauan dan Kepulauan (AIS) di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali, Rabu (11/10).  (Twitter/@jokowi)

Presiden Jokowi memimpin Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Forum Negara Kepulauan dan Kepulauan (AIS) di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali, Rabu (11/10). (Twitter/@jokowi)

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang mendampingi Presiden mengatakan, forum ini menghasilkan deklarasi untuk meningkatkan solidaritas dan kerja sama dalam memerangi ancaman iklim, termasuk kenaikan permukaan air laut.

Deklarasi tersebut, kata Menlu, mencakup dua hal besar. Yang pertama adalah membuat peta jalan menuju formalisasi forum yang beranggotakan 51 orang tersebut sebagai sebuah blok resmi berdasarkan piagam tersebut. “Dalam hal ini para pemimpin menugaskan para menteri untuk mulai membicarakan peta jalan dan membicarakan amanat modalitasnya,” kata Retno.

Kedua, kata Retno, menetapkan prioritas kerja sama ke depan.

Dalam kesempatan tersebut, Retno juga menyoroti apa yang membedakan forum ini dengan forum lainnya. Menurutnya, forum ini bisa dikatakan lebih bisa menyentuh kepentingan masyarakat secara nyata.

“Yang membedakan forum ini dengan forum lainnya, forum lain mungkin lebih bersifat top down, sedangkan forum ini sangat berbasis komunitas, artinya sangat menyentuh kepentingan masyarakat,” jelas Retno.

Dihubungi KILAT NUSANTARA, Adila Isfandiari, peneliti kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menyambut baik persiapan dana hibah untuk mengatasi krisis iklim. Artinya, kata Dila, isu krisis iklim dianggap sebagai ancaman yang berbahaya, terutama bagi masyarakat pulau dan pesisir.

Berdasarkan data Bappenas, kerugian akibat krisis iklim pada tahun 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp544 triliun. Potensi kerugian terbesar, jelas Dila, dialami sektor kelautan dan pesisir yang mencapai Rp408 triliun.

“Dana ini sangat kami butuhkan. “Dana ini dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di garda depan dalam menghadapi krisis iklim agar dapat beradaptasi terhadap bencana iklim dan melakukan mitigasi,” kata Dila.

Indonesia sebagai negara kepulauan dan pemegang garis pantai terpanjang kedua di dunia, menurut Dila, juga bisa menyuarakan kerentanan negara kepulauan dan kepulauan terhadap krisis iklim di kancah dunia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP) ke-28. digelar akan berlangsung November-Desember mendatang. Pada COP sebelumnya, kata Dila, telah terjadi pembahasan mengenai dana yang hilang dan rusak.

Sementara itu, dalam siaran pers bersama, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Forum Peduli Pulau Pari (FPPP), dan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) menyatakan tidak setuju dengan klaim pemerintah bahwa KTT AIS merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah terhadap permasalahan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.

Mustaghfirin atau akrab disapa Bobi, salah satu nelayan Pulau Pari, menilai pelaksanaan KTT AIS 2023 hanya sebatas pembahasan kertas saja, pasalnya saat ini banyak pulau-pulau kecil di Indonesia yang sudah dan sedang tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. dipicu oleh krisis tersebut. iklim. Ironis sekali, karena pemerintah Indonesia tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan pulau-pulau kecil yang pernah dan sedang tenggelam, kata Bobi.

Ia mencontohkan Pulau Pari, tempat tinggalnya dan keluarganya, kini terancam tenggelam. Setidaknya sebelas persen wilayah Pulau Par, menurutnya, hilang akibat naiknya permukaan air laut.

Bobi bersama tiga warga Pulau Pari sejak awal Februari tahun ini menggugat Holcim yang merupakan perusahaan semen terbesar di dunia. Hal itu dilakukan karena Holcim telah menghasilkan emisi lebih dari tujuh miliar ton CO2 sejak tahun 1950.

“Gugatan ini sudah berjalan hampir satu tahun, namun pemerintah Indonesia belum memberikan dukungan sedikit pun atas langkah kami. Hal ini berbanding terbalik dengan pemerintah di negara lain. Menteri Kehakiman Austria Alma Zadic, misalnya, secara terbuka mendukung gugatan kami.” Seharusnya pemerintah Indonesia malu,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, Forum AIS 2023 di Bali tidak akan ada artinya jika pemerintah sendiri tidak serius menyelamatkan Pulau Pari dan seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia. [gi/ab]

Tinggalkan Balasan