Pada awal Oktober 2023, Presiden Joko Widodo meresmikan kereta cepat pertama di Asia Tenggara yang diberi nama “Whoosh”. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) disebut-sebut menjadi unggulan atau kapal bendera dari kerja sama Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI), sebuah inisiatif pembangunan infrastruktur yang diluncurkan oleh pemerintah Tiongkok.
Berbicara pada Seminar Refleksi Satu Dekade Hubungan Indonesia-Tiongkok di Era Inisiatif Sabuk dan Jalan, Rabu (25/10), Adhita Eduard Yeremia, dosen Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, mengatakan ada pembelajaran penting dari proyek tersebut untuk masa depan kerja sama Indonesia-China terkait berbagai permasalahan yang ada pada proyek tersebut. yang mengalami pembengkakan biaya dari $5,5 miliar menjadi $7. .3 miliar. Proyek tersebut juga mengalami lima kali penundaan operasional sebelum diresmikan pada 2 Oktober 2023.
“Bagi Tiongkok, kasus ini jelas menjadi studi kasus bahwa praktik pembangunan di Tiongkok tidak bisa langsung ditransfer ke negara lain. Harus ada lebih banyak pemahaman tentang situasi lokal. “China harus memperkuat pengetahuannya tentang konteks sosial-politik lokal daripada terjerumus ke dalam bias otoriter,” kata Adhita dalam seminar yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Bias otoriter yang dimaksud Adhita adalah keyakinan berlebihan para pengambil kebijakan baik di Indonesia maupun Tiongkok bahwa proyek akan berjalan lancar sehingga meremehkan potensi yang dapat menghambat kelancaran proyek, seperti pembebasan lahan yang notabene memakan waktu tiga tahun. untuk memperoleh tanah. Kegiatan konstruksi terpaksa ditunda dari tahun 2019 ke tahun 2020.
“Tiongkok mungkin berpikir bahwa jika mereka berjabat tangan dengan kalangan atas, maka mereka juga harus berjabat tangan dengan kalangan bawah. Padahal dalam konteks desentralisasi di Indonesia, sapaan di atas bisa saja berbeda dengan sapaan di bawah ini. “Jadi itu yang harus dipertajam oleh Tiongkok,” jelas Adhita.
Menurutnya, sangat penting proyek yang dilakukan di Indonesia juga mengidentifikasi aspirasi masyarakat lokal yang terkena dampak. Selain itu, diperlukan juga upaya untuk meningkatkan sistem perlindungan sosial dan lingkungan pada proyek-proyek Tiongkok di Indonesia.
KCJB merupakan kebanggaan Indonesia dan Tiongkok
Akademisi Central China Normal University, Zhang Xian, mengatakan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diluncurkan pada awal Oktober 2023 menjadi contoh keberhasilan kerja sama Indonesia dan China dalam inisiatif BRI. Proyek ini tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di Tiongkok.
“Saya rasa ini juga sangat terkenal di seluruh dunia karena menarik banyak perhatian. Proyek kapal bendera “Hal ini memberikan contoh yang sangat baik tidak hanya bagi para pemangku kepentingan tetapi juga bagi calon mitra di berbagai penjuru dunia,” kata Zhang.
Senada dengan itu, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Indonesia, Zhou Kan, mengatakan pengoperasian Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan momen bersejarah kerja sama kedua pihak. negara.
“Sebagai proyek andalan dan tanda tangan Sabuk dan Jalan “antara Tiongkok dan Indonesia, sejak awal perkembangannya, KCJB telah memberikan manfaat nyata bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat di kedua negara,” ujar Zhou Kan dalam kegiatan yang sama.
Perkiraan belum lengkap, kata Zhou Kan, KCJB telah menciptakan 51 ribu lapangan kerja di Indonesia. Jika sudah beroperasi, industri pendukungnya akan menciptakan lebih dari 30 ribu lapangan kerja.
Zhou Kan menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir investasi Tiongkok di Indonesia terus tumbuh dan menjadi sumber investasi asing terbesar. Pada tahun 2022, investasi langsung Tiongkok di berbagai sektor di Indonesia akan mencapai USD 21,5 miliar atau setara dengan seperempat total investasi asing di Indonesia.
Kekhawatiran Jebakan Utang Tiongkok
Nur Rachmat Yuliantoro, dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengatakan terdapat 71 proyek BRI di Indonesia dengan total nilai investasi $20,3 miliar, namun sebagian besar merupakan pinjaman yang harus dibayar kembali.
Berdasarkan AidData, total utang Indonesia ke Tiongkok mencapai $22,10 miliar hingga Maret 2022 atau setara dengan 5,35 persen dari total utang luar negeri Indonesia yang mencapai $411,5 miliar. Kondisi tersebut, kata dia, menimbulkan kekhawatiran dan asumsi banyak orang bahwa Indonesia akan menghadapi krisis utang sehingga tidak mampu membayar utang yang berasal dari China.
“Tentu saja pihak Tiongkok akan mengatakan tidak ada kemungkinan terjadinya jebakan utang, namun kita juga tetap harus berhati-hati karena tingkat keterbukaan dan akuntabilitas dibalik investasi Tiongkok masih belum jelas.” terbatasnya sumber yang saya punya,” kata Yuliantoro.
Ia menambahkan, Indonesia perlu mengevaluasi secara serius dukungan finansial dari Tiongkok, agar dukungan tersebut tidak berubah menjadi sesuatu yang membahayakan fundamental perekonomian Indonesia. [yl/ab]