Hujan kritik terhadap Dinasti Jokowi tak terhindarkan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan uji materi syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Putusan ini dinilai sarat konflik kepentingan karena dinilai dikeluarkan untuk membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang juga keponakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. mencalonkan diri pada pemilihan presiden 2024. Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11) akan mengeluarkan putusan terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan hakim MK.
Ketua Umum Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai apa yang dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengarah pada pelanggaran berat karena ada bukti administratif.
“Ini (putusan MK) adalah kehancuran demokrasi karena proses yang brutal dan dugaan penyelundupan pasal-pasal yang tidak diajukan oleh pemohon, tidak dibicarakan dalam persidangan, tiba-tiba ada dalam putusan yang dipegangnya. jabatan bla-bla padahal tidak pernah ditemukan saat pemeriksaan,” ujarnya kepada KILAT NUSANTARA, Senin (6/11).
Julius menegaskan, Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) harus mengusut persoalan ini, apakah seluruh pelanggaran etika dan profesional tersebut berujung pada hancurnya demokrasi yang dibangun dengan susah payah pasca tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998.
Menurut Julius, keputusan MK yang membolehkan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka dicalonkan sebagai calon wakil presiden merupakan titik politik dinasti dan nepotisme antara Presiden Joko Widodo, Ketua MK Anwar Usman, dan Gibran.
Ia mempertanyakan maksud pelanggaran dan kejanggalan putusan MK secara keseluruhan. Yang dibicarakan adalah usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden, dan Mahkamah Konstitusi tidak memutuskan untuk mengurangi persyaratan tersebut menjadi di bawah 40 tahun.
Akankah keputusan MKMK mengungkap politik dinasti dan nepotisme?
Jika putusan Dewan Kehormatan MK tidak bisa mengungkap adanya politik dinasti dan nepotisme, maka, tambah Julius, berarti Dewan Kehormatan gagal memulihkan kepercayaan masyarakat, melanggengkan politik dinasti dan nepotisme yang terpendam pada masa reformasi, dan menjadi titik awal dimana masyarakat tidak akan mempercayai proses tersebut. demokrasi Indonesia. Hal ini mencakup hasil pemilu, hasil perselisihan pemilu, dan legitimasi pemerintahan baru.
Ketidakpercayaan masyarakat ini, dalam konteks sosiologis dan hukum, akan memicu pembangkangan sipil dan, bukan tidak mungkin, akan menimbulkan kerusuhan horizontal.
Demokrasi di Indonesia Terancam?
Dalam diskusi di Jakarta, Senin, Project Manager Virtue Public Institute Stanislaus Axel Pascalis mengatakan meski secara umum banyak negara di dunia yang mengalami kemerosotan demokrasi, namun masih banyak yang berharap pada demokrasi Indonesia yang dibangun pada tahun 1998. Ironisnya, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo justru terjadi kemunduran.
“Seiring berjalannya pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita mengalami berbagai represi. Berbagai tindakan anti demokrasi kita alami. Jadi terjadi kemerosotan (demokrasi) yang sangat drastis,” kata Axel.
Perkembangan terkini adalah munculnya dinasti politik di ranah eksekutif nasional terkait majunya Gibran yang merupakan putra Presiden Joko Widodo menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto.
Apa dampak putusan MKMK terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi?
Menanggapi kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Widodo Dwi Putro, dosen Filsafat Hukum Universitas Mataram, mengatakan, secara universal hakim dengan sendirinya akan langsung mengundurkan diri jika ada kepentingan dalam menangani suatu perkara. Dalam kasus ini, Anwar tampak menggunakan hukum sebagai alat untuk membenarkan kejahatan yang sempurna, ujarnya.
Secara hukum, keputusan Dewan Kehormatan MK tidak bisa membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden yang biasa digunakan Gibran untuk mencalonkan dirinya sebagai calon wakil presiden. Namun sebagai badan etik, Dewan Kehormatan MK bisa memberikan rekomendasi yang biasa didengarkan dan dilaksanakan.
“Tetapi MKMK (Dewan Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga etik dapat memutuskan atau mengatakan bahwa putusan yang cacat moral tidak layak untuk dilaksanakan. Karena jika dilaksanakan maka akan membahayakan supremasi hukum itu sendiri,” ujarnya.
Widodo menegaskan, Dewan Kehormatan MK berwenang menyatakan keputusan yang cacat moral tidak perlu dilaksanakan.
Putusan Dianggap Kontroversial, Hakim MK Melaporkan
Ketua MK Anwar Usman dan sejumlah hakim konstitusi lainnya dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik karena dianggap membuka jalan bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024. . Gibran merupakan putra Presiden Joko Widodo dan juga keponakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membantah terlibat konflik kepentingan dalam memutus pengujian materiil UU Pemilu tentang batasan usia minimal calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun atau memiliki/ saat ini menduduki jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah yang pada akhirnya membuka jalan bagi Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo. .
Tim Pembela Demokrasi Indonesia, salah satu unsur yang melaporkan Anwar dan hakim MK, bersama sejumlah advokat pada Senin menuntut agar Dewan Kehormatan MK “bertindak cepat dan maksimal” serta menghasilkan putusan yang “benar-benar mencerminkan putusan yang obyektif.” tanpa campur tangan otoritas apa pun. bahkan.” Mereka menggarisbawahi, “masyarakat masih menaruh harapan besar kepada Dewan Kehormatan MK untuk menyelamatkan independensi dan independensi MK dari hubungan kekeluargaan yang memudahkan intervensi dan menimbulkan konflik kepentingan.” [fw/em]