Komitmen pemerintah dalam melaksanakan skema Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Kemitraan Transisi Energi yang Adil/JETP) merupakan bagian dari solusi transisi energi bagi pelaku industri yang masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara untuk memenuhi kebutuhan internal.
Pada pertemuan G20 di Bali, November 2022, Indonesia dan sejumlah negara maju serta lembaga keuangan dunia menandatangani JETP untuk mempercepat transisi menuju energi ramah lingkungan. Grup Mitra Internasional atau Grup Mitra Internasional (IPG), yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, telah berkomitmen mengucurkan $20 miliar atau sekitar Rp 308 triliun—termasuk melalui hibah dan pinjaman lunak—untuk program transisi energi. Salah satu caranya adalah mengurangi emisi dengan mengurangi penggunaan batu bara.
Banyak pihak yang skeptis Indonesia bisa mencapai target transisi energi pada skema JETP, salah satunya karena keberadaan PLTU. tawanan atau pembangkit listrik swasta yang digunakan oleh pelaku industri, terutama dengan peleburan mineral seperti tembaga, aluminium, nikel, dan kobalt. Dua mineral terakhir merupakan bahan baku penting dalam produksi kendaraan listrik dan rantai pasokan baterai yang digadang-gadang pemerintah sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.
Kepala Sekretariat JETP Edo Mahendra mengatakan solusi pertama adalah dengan membangun jaringan pintar atau jaringan listrik pintar. Jika jaringan pintar Setelah dibangun, pelaku industri bisa langsung terhubung ke jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk mendapatkan pasokan listrik dari sumber energi terbarukan (EBT).
“Karena jaringan kita diperluas Dan ditingkatkankita bisa mengakomodasi dengan lebih agresif energi terbarukan ke dalam sistem jaringan kami. Jadi, tidak perlu (pembangkit listrik) tawanan,” kata Edo kepada KILAT NUSANTARA dalam wawancara di kantornya, di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Jaringan Cerdas merupakan sistem jaringan listrik pintar yang dapat menerima energi terbarukan berkapasitas besar, terutama energi terbarukan variabel seperti angin dan surya yang pasokannya tidak stabil karena bergantung pada kondisi cuaca.
“Matahari tidak selalu bersinar. Suatu hari ada mendung, ada hujan, ada malam. “Teknologi harus mampu mengakomodir hal tersebut agar pasokan pembangkit listrik tetap stabil,” jelasnya.
Opsi kedua, kata Edo, adalah secara bertahap menambahkan variabel energi terbarukan ke dalam bauran energi industri sambil terus mengoperasikan generator yang dapat memenuhi permintaan beban dasar atau beban dasar, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara.
PLTU menghasilkan listrik secara terus-menerus dalam jangka waktu lama tanpa gangguan.
“Jadi ada masa transisi. Misalnya dalam jangka waktu 3-5 tahun menggunakan gas (pembangkit listrik tenaga gas/PLTG). Nah, ini harus dilakukan agar transisi energi benar-benar bisa mendukung pembangunan ekonomi Indonesia,” dia dikatakan.
Hitung ulang
Edo membenarkan adanya PLTU swasta merupakan salah satu pertimbangan untuk menunda peluncuran dokumen investasi dan kebijakan yang komprehensif (Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif/CIPP) yang direncanakan pada 16 Agustus.
Saat ditandatangani, JETP baru memperhitungkan pembangkit yang ada dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau di jaringan (dalam jaringan). Faktanya, PLTU swasta yang digunakan oleh pelaku industri juga menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar.
Menurut laporan Global Energy Monitor yang bertajuk Boom dan Bust: Melacak Jalur Pipa Pabrik Batubara Global dirilis pada April 2023, terdapat sekitar 13 gigawatt (GW) PLTU swasta atau 58 persen dari total 18,8GW pembangkit listrik tenaga batubara yang sedang dibangun pada akhir tahun 2022. Sejumlah pembangkit tersebut sedang dalam tahap pembangunan atau dalam tahap pra- -tahap konstruksi untuk penyediaan tenaga listrik bagi industri seperti peleburan aluminium dan pengolahan nikel dan kobalt.
Dengan memasukkan kapasitas PLTU swasta, kata Edo, kita bisa melihat gambaran kebutuhan listrik di Indonesia secara keseluruhan. Sebab pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan permintaan listrik yang berarti meningkatkan emisi karbon.
“Jangan sampai proses pembangunan ekonomi industrialisasi kita terhenti. Kalau ada yang bilang ‘oh, solusinya hentikan industrialisasi’ tentu tidak bisa dilakukan. Itu berarti kita tidak bisa bergerak maju. Jika seseorang mengatakan ‘Sudah,lakukan batu bara sebanyak mungkin’ adalah solusi yang merugikan dalam jangka panjang karena ekonomi rendah karbon adalah tren melingkar,” dia menjelaskan.
“Nanti kita cari solusinya. Seperti apa nih apa yang bisa kita lakukan agar kita bisa tumbuh dengan strategi rendah karbon tersebut.”
Kementerian ESDM menargetkan pembangunan 53 smelter pada tahun 2024. Dari jumlah tersebut, 17 smelter diharapkan selesai pada tahun ini, kata Menteri ESDM Arifin Tasrif. Januari lalu. Pada tahun 2022 akan selesai tujuh smelter yang meliputi smelter nikel dan smelter besi.
Berdasarkan perhitungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), jaringan energi Indonesia yang masih sangat bergantung pada energi fosil, termasuk sejumlah kawasan industri yang menjadi pusat pengolahan nikel, diperkirakan menyumbang 200 juta ton emisi.
Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara terpisah mengatakan dengan memasukkan pembangkit swasta, harus dilakukan perhitungan ulang untuk keperluan transmisi dan target puncak emisi sebesar 290 MTCO2 (metrik ton setara karbon dioksida) pada tahun 2030.
Lima fokus investasi
Dua solusi untuk generator pribadi Hal ini merupakan bagian dari lima bidang fokus investasi dalam skema JETP. Fokus investasi lainnya adalah penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara, pembangkit EBT yang dapat digunakan untuk base load (energi terbarukan yang dapat dikirim) dan pengembangan sektor manufaktur rantai pasokan EBT.
Menurut Edo, setelah Pemerintah Indonesia dan mitra selesai mengkaji dokumen CIPP, masyarakat umum akan diberikan waktu dua minggu untuk memberikan masukan terhadap rencana investasi JETP.
“Kami juga memahami bahwa hal itu perlu jendela komentar publik yang cukup menjaring aspirasi masyarakat,” kata Edo.
Sekretariat akan mengunggah dokumen CIPP ke website sekretariat untuk diakses oleh masyarakat. Namun Edo enggan menyebutkan target tanggal peluncuran dokumen CIPP tersebut.
Dana jumbo
Namun upaya transisi menuju energi bersih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh banyak uang dan butuh waktu untuk membangun infrastruktur.
Putra Adhiguna, Teknologi Riset Energi Memimpin Asia dari lembaga penelitian Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan (IEFFA) mengatakan komitmen pendanaan JETP sangat kecil untuk membiayai investasi transisi energi Indonesia.
“JETP sebenarnya merupakan komitmen awal untuk menggelindingkan bola. Misalnya saja pembangunan transmisi antara Sumatera dan Jawa. Boleh jadi penggerak-itu (driver.red). Saat itu di sana, itu masih baru lah “Program selanjutnya akan dikembangkan,” kata Putra di sela-sela diskusi di Jakarta, akhir Agustus lalu.
Evy Haryadi, Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PLN, Kamis (7/9), menghitung PLN membutuhkan dana sebesar $172 miliar atau Rp. 2,635 triliun untuk dibangun jaringan pintar dan pembangkitan energi terbarukan sebesar 60 gigawatt pada tahun 2040.
Jangan memperpanjang pembangkit listrik tenaga batubara
Meski dokumen CIPP belum dirilis ke publik, sejumlah pakar dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah mengangkat isu-isu yang perlu diperhatikan dalam perencanaan transisi energi menggunakan skema JETP.
Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, mengatakan karena JETP bertujuan untuk memfasilitasi transisi Indonesia menuju energi bersih, maka sangat penting bagi Sekretariat untuk memastikan tidak ada dana yang digunakan untuk memperpanjang umur PLTU dengan mengizinkan penggunaan bahan bakar biomassa. bersama dengan batu bara.
“Apalagi karena penanaman pohon untuk memproduksi wood pellet berisiko terhadap deforestasi lebih lanjut dan peningkatan emisi akibat perubahan penggunaan lahan,” kata Tommy KILAT NUSANTARA.
Oleh karena itu, kata Tommy, pemerintah harus fokus pada energi bersih yang proses produksinya memiliki jejak karbon lebih rendah, seperti angin, matahari, dan arus laut yang belum tereksplorasi.
“Taruhannya sangat besar jika kita terus menggunakan minyak sawit. Meskipun untuk beradaptasi iklim mendidih Saat ini peran hutan sangat penting untuk menyerap karbon dan menjaga ekosistem,” kata Tommy. (Gregorius Yohanes/ah/dw)