Pada KTT G20 India, Jokowi meragukan komitmen negara-negara maju dalam mengatasi krisis iklim

Presiden Joko Widodo mengangkat isu krisis iklim pada KTT G20 India yang digelar di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India, Sabtu (9/9).

Dalam kesempatan itu, Jokowi meragukan komitmen pendanaan negara-negara maju untuk mengatasi krisis iklim.

“Komitmen pendanaan dari negara maju masih sebatas retorika dan di atas kertas, baik berupa pendanaan iklim $100 miliar per tahun, serta fasilitas pendanaan kehilangan Dan kerusakan,” kata Jokowi.

Menurutnya, hal tersebut sangat disayangkan karena saat ini bumi sedang sakit. Hal itu, kata Jokowi, terlihat dari suhu dunia yang mencapai titik tertinggi pada Juli lalu. Suhu bumi diprediksi akan terus meningkat dalam lima tahun ke depan dan sulit dihentikan, kecuali ada upaya masif dan radikal dari semua pihak untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut.

Percepatan transisi menuju ekonomi rendah karbon, kata Jokowi, bisa menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan, apalagi hingga saat ini implementasi penurunan emisi masih sangat terbatas. Negara-negara berkembang, kata dia, membutuhkan bantuan di bidang teknologi dan investasi hijau untuk mempercepat penurunan emisi.

Rencana penjualan karbon untuk mendorong sektor industri mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi isu besar pada pemilu lalu di Australia.

Rencana penjualan karbon untuk mendorong sektor industri mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi isu besar pada pemilu lalu di Australia.

Selain itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan kerja sama pemerintah dan swasta harus terus membawa perubahan besar untuk menurunkan emisi.

“Tahun lalu di Bali, Indonesia memprakarsai skema G20 Bali Global Blended Finance Alliance Kemitraan Transisi Energi yang Adil “Ini (JETP) harus diperluas dan diperbesar,” tegasnya.

Ia menambahkan, untuk mencegah praktik greenwashing, diperlukan standar global berupa pengelompokan kegiatan ekonomi dan bisnis.

“Dibutuhkan standar global, seperti taksonomi untuk mencegah praktik greenwashing dan reformasi Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) harus mencerminkan keterwakilan negara anggotanya,” tegasnya.

PLN berhasil melakukan uji coba biomassa cangkang sawit 100 persen untuk cofiring di PLTU Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, berkapasitas 2×7 megawatt (MW).  foto PLN

PLN berhasil melakukan uji coba biomassa cangkang sawit 100 persen untuk cofiring di PLTU Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, berkapasitas 2×7 megawatt (MW). foto PLN

Jokowi juga menjelaskan tindakan nyata Indonesia di hadapan para pemimpin dunia dalam menjaga bumi melalui upaya mengurangi deforestasi dan memulihkan hutan bakau.

“Pada tahun 2022, Indonesia akan berhasil menurunkan emisi sebesar 91,5 juta ton. Laju deforestasi berkurang menjadi 104 ribu hektar. “77 ribu hektare hutan dan lahan direhabilitasi dan 34 ribu hektare mangrove dipulihkan,” ujarnya.

Upaya Mengatasi Krisis Iklim Belum Maksimal

Ketua Bidang Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Puspa Dewy mengatakan upaya mengatasi krisis iklim global belum optimal. Hal ini ditandai dengan skema pendanaan dari negara maju ke negara berkembang dan miskin yang masih didominasi oleh skema utang.

“Pendanaan iklim, khususnya bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak bisa menggunakan skema utang karena kita sudah merasakan dampak krisis iklim yang diakibatkan oleh aktivitas korporasi dan negara-negara industri,” kata Dewy.

WALHI, kata Dewy, juga menilai skema pendanaan transisi energi yang dikemas dalam bentuk JETP juga tidak menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang ada, karena berbentuk utang dan tentunya membebani negara berkembang dan miskin.

“JETP merupakan skema yang tidak bisa mengatasi atau menjawab transisi energi yang berkeadilan, kenapa? Skema pendanaannya sendiri didominasi oleh utang, dana JETP di Indonesia hanya 0,8 persen yang berbentuk hibah. Skema transisi energi di Indonesia masih didominasi oleh utang. “Apalagi jika kita melihat proyek-proyek iklim saat ini di luar skema JETP, masih belum mampu mencapai transisi energi yang berkeadilan,” jelasnya.

Presiden Jokowi, kata Dewy, harusnya bisa lebih tegas mengajak para pemimpin dunia untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam mengambil tindakan nyata untuk mengatasi krisis iklim yang semakin hari semakin parah.

“Hal ini mengembalikan tanggung jawab negara-negara industri dan maju atas apa yang terjadi, yaitu krisis iklim saat ini. “Kalau kita mau melihat, skema (utang) ini sebenarnya berarti negara-negara miskin yang seharusnya mendapat hibah untuk mengatasi krisis iklim kemudian diberikan jeratan utang,” ujarnya.

“Dan kita tahu bahwa beberapa negara miskin tidak lagi mampu membayar utangnya, terutama karena skema ini akan semakin membebani negara karena dapat berdampak pada kelompok marginal, dimana subsidi untuk layanan publik, hak-hak dasar masyarakat, termasuk perempuan dan kelompok rentan tidak dapat dibayar. kelompok, memerlukan respon, terutama dari negara,” kata Dewy.

Asap mengepul dari cerobong PLTU Suralaya di Cilegon, 21 September 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Asap mengepul dari cerobong PLTU Suralaya di Cilegon, 21 September 2021. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

WALHI yang merupakan bagian dari organisasi masyarakat sipil Indonesia, kata Dewi, menyerukan beberapa hal dalam upaya mengatasi permasalahan krisis iklim. Pertama, mendorong demokrasi energi yang mengutamakan energi untuk masyarakat dibandingkan industri, dan memberikan masyarakat, termasuk perempuan, kekuasaan untuk memutuskan sumber energi yang ingin mereka gunakan.

Kedua, mendesak tanggung jawab historis dan pemenuhan komitmen pendanaan iklim dari negara-negara industri maju, termasuk G20. Ketiga, tidak boleh ada lagi perjanjian G20 yang memunculkan solusi, skema dan proyek palsu. Keempat, pendanaan publik untuk keadilan gender, iklim dan ekonomi.

“G20 sudah berhenti menawarkan solusi utang, membatalkan utang negara-negara miskin,” tutupnya. [gi/ah]

Tinggalkan Balasan