Sekjen PBB Dua Kali Memperingatkan Potensi Krisis

Berbicara di New Delhi, India, beberapa saat sebelum pembukaan KTT G20 pada Minggu (10/9), Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan bahwa “meningkatnya perpecahan dan ketegangan, terkait dengan semakin terkikisnya kepercayaan, secara kolektif akan meningkatkan fragmentasi, konfrontasi dan krisis.”

Guterres menambahkan, “Dunia berada dalam masa transisi dan sulit” dan “masa depan bersifat multipolar, sementara lembaga multilateral mencerminkan masa lalu.” Itu sebabnya, tegas Guterres, mengapa dia datang ke New Delhi. “Karena kita tidak bisa terus seperti ini,” ujarnya.

Guterres sepertinya mengulangi pernyataan serupa yang disampaikannya pada KTT ASEAN-PBB di Jakarta, Kamis (7/9). Konflik Myanmar, krisis Laut Cina Selatan, dan krisis iklim menjadi sorotan utama. Ia menyambut baik pendekatan berkelanjutan yang dilakukan ASEAN, khususnya dalam penerapan lima poin konsensus.

Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Laos Sonexay Siphandone saat KTT ASEAN-PBB di Jakarta, 7 September 2023. (Foto: Tatan Syuflana/Pool via REUTERS)

Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Laos Sonexay Siphandone saat KTT ASEAN-PBB di Jakarta, 7 September 2023. (Foto: Tatan Syuflana/Pool via REUTERS)

“Saya menyambut baik pendekatan ASEAN terhadap konsensus lima poin, dan saya mendesak semua negara untuk terus mencari strategi terbaik untuk membantu Myanmar,” ujarnya.

Guterres juga mengapresiasi upaya Indonesia saat menjabat sebagai Ketua ASEAN dan juga ASEAN sendiri yang melibatkan semua pihak dalam menyelesaikan masalah ini dengan tetap mengedepankan ruang dialog politik. Ia juga mendesak otoritas militer di Myanmar mendengarkan aspirasi berbagai pihak dan membebaskan tahanan politik. Ia juga berharap negara kembali ke pemerintahan demokratis.

Sementara mengenai krisis iklim, Guterres mengatakan PBB telah menyerukan “pakta solidaritas iklim” yang melibatkan negara-negara penghasil emisi terbesar untuk melakukan upaya ekstra dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, dan melakukan mobilisasi secara finansial dan teknis untuk mendukung negara-negara berkembang.

ASEAN Terus Promosikan Kerja Sama Ekonomi

Pakar ASEAN dari LIPI Adriana Elisabeth mengatakan, sejak ASEAN didirikan, isu politik dan keamanan selalu mengemuka. Apalagi ASEAN selalu dibayangi oleh tarik menarik pengaruh dan kekuatan dua negara besar yaitu Amerika dan China. Meski begitu, ASEAN terus berupaya meningkatkan kerja sama ekonomi antar sesama negara anggota ASEAN dan negara mitra guna menciptakan kesejahteraan di kawasan.

“Faktanya perekonomian berjalan, persoalan politik belum terselesaikan. Jadi ASEAN akan terus seperti itu, tapi sekali lagi walaupun terlihat banyak kesepakatan, tapi lihatlah ASEAN selama ini. relatif nanti akan seperti itu lagi ya, saya khawatir perekonomian akan cukup sulit terwujud. Apalagi kami melihat konflik negara-negara besar sepertinya cukup berdampak terhadap ASEAN, kata Adriana.

“Contohnya kalau terjadi ledakan besar masalah Amerika dengan China, pasti berdampak pada ASEAN. Jadi itu yang saya bayangkan ke depan ASEAN akan punya posisi penting, tapi semakin meningkat. menantang,” dia menambahkan.

Para pemimpin negara menghadiri KTT ASEAN-PBB di Jakarta.  (Foto: Istimewa/Sekretariat Presiden RI)

Para pemimpin negara menghadiri KTT ASEAN-PBB di Jakarta. (Foto: Istimewa/Sekretariat Presiden RI)

Terkait konflik Myanmar, ia memperkirakan permasalahan ini tidak akan selesai di tangan ketua ASEAN berikutnya, yakni Laos. Dalam mengatasi konflik ini, menurut Adriana, ASEAN harus mengubah beberapa definisi yang selama ini menjadi pedoman ASEAN.

“Misalnya ASEAN saja sudah cukup percaya diri Menurut saya, dengan mendefinisikan kembali beberapa hal yang selama ini menjadi kendala internal ASEAN, menurut saya merupakan langkah yang lebih maju. “Tapi kalau seperti ini, besok hasilnya sama,” ujarnya.

“Apalagi kalau kepentingan masing-masing negara adalah untuk mengembangkan perekonomian, investasi, dan perdagangan yang mempunyai kepentingan dekat dengan China, seperti Myanmar dan Laos, menurut saya mereka tidak akan melakukan intervensi. Selama perekonomiannya aman, mereka tidak akan bersentuhan. tentang politik keamanan,” tegas Adriana.

Uap berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Witbank, kini bernama Emalahleni, Afrika Selatan, 11 Oktober 2021. (Foto: AP)

Uap berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara di Witbank, kini bernama Emalahleni, Afrika Selatan, 11 Oktober 2021. (Foto: AP)

Greenpeace Indonesia: Menelepon saja tidak cukup!

Sementara itu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono mengatakan semua pihak harus serius dalam mengatasi krisis iklim sehingga imbauan atau seruan saja tidak cukup. Menurutnya, hal tersebut harusnya menjadi sebuah kewajiban.

“Kami merasa hal ini tidak lagi menjadi sebuah seruan, namun harus menjadi kewajiban bagi negara-negara penghasil emisi besar untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam upaya penurunan emisi, baik dari segi pendanaan maupun dukungan teknis,” kata Didit.

Didit mengatakan, harus diciptakan mekanisme pendanaan yang berkeadilan, bukan utang. Ia mencontohkan komitmen pendanaan transisi energi yang berasal dari negara maju, seperti Amerika Serikat, sebesar $20 miliar. Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP).

“Kalau kita lihat mekanisme JETP yang sudah berjalan di Afrika Selatan. Dananya kurang dari empat persen dalam bentuk hibah, sisanya menggunakan skema utang,” ujarnya.

Jika pola pendanaan ini terus diterapkan, maka tanggung jawab pengentasan krisis iklim hanya akan dibebankan pada masyarakat dunia ketiga, dan bukan pada negara-negara yang justru berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi.

“Mekanisme yang adil tentu harus mengedepankan kepentingan publik, dimana beban penanggulangan dampak krisis iklim harus ditanggung oleh para pencemar (pencemar) dan ini bisa dihitung dari besarnya pencemaran yang mereka hasilkan dari usahanya,” tegasnya.

Namun bukan berarti mekanisme ini menjadi pembenaran bagi perusahaan yang menghasilkan polusi untuk beroperasi seperti biasa (masih menghasilkan polusi). Mereka juga harus bertransformasi dan melakukan transisi energi, tutupnya. [gi/em]

Tinggalkan Balasan