Hari Solidaritas Hijab Internasional (IHSD) diperingati berdasarkan hasil konferensi di London pada tanggal 4 September 2004 untuk menyikapi diskriminasi yang dialami perempuan muslim di berbagai negara, termasuk beberapa negara besar di Eropa. Sebelumnya, di Inggris misalnya, ada larangan berhijab dan memakai simbol agama.
Di Prancis, larangan serupa juga berlaku di lingkungan pendidikan. Di Turki, perempuan Muslim berhijab tidak bisa mendapatkan perawatan medis, sementara di Tunisia, mereka disiksa dan bahkan dipenjara. Hari Solidaritas ini digagas oleh umat Islam khususnya di Perancis, Jerman, Tunisia dan Turki.
Ratna Widyastuti berhijab saat kuliah pada tahun 2000. Lulusan STT Telkom Bandung ini meraih gelar master di RWTH Aachen dan kini tinggal di kota Göttingen. Tinggal di Jerman sejak 2005, Ratna mengaku lebih banyak pengalaman berhijab di Jerman dibandingkan di Indonesia.
Ratna mengatakan, “Saya sendiri tidak pernah mengalami diskriminasi dalam berhijab, alhamdulillah. Jadi tidak ada pengalaman yang sangat tidak mengenakkan selama berada di sini.” , serta pemerintah, semakin membaik.”
Ratna yang resmi mulai bekerja di Jerman pada tahun 2011 mengaku mengetahui adanya larangan berhijab yang kini telah dicabut bagi guru di sekolah di 16 provinsi di Jerman.
Sekarang menjadi Senior Software Developer di Kalaupun ada pengalaman pribadi yang diingatnya, itu hanyalah dua hal.
Pertama, ketika pewawancara kerjanya menanyakan apakah dia bersedia melepaskan hijab jika pelanggan perusahaan yang dia lamar tidak menyukai konsultan yang berhijab.
“Ya, saya hanya menjawab sambil tersenyum, maaf tidak bisa. Jadi saya akan tetap memakai hijab saya, mungkin dengan memberikan penjelasan yang baik kepada pelanggan, bahwa hijab tidak akan mengurangi profesionalisme pekerjaan saya. “Tetapi hanya itu yang menanyakan pertanyaan itu dari semua perusahaan yang mewawancarai saya,” katanya.
Pengalaman kedua, saat ia bersama rombongan muslimah yang sebagian besar berhijab berwisata ke sebuah kota di Jerman Timur sekitar tahun 2005, ia merasa orang-orang di sana memandangnya ‘dari atas ke bawah, depan dan belakang.’ Menurutnya, hal ini karena masyarakat di Jerman Timur tidak seterbuka masyarakat di barat.
Ia juga mengatakan, masyarakat Göttingen tampak lebih berpikiran terbuka, mengingat sebagai kota pelajar, kota ini memiliki banyak pelajar internasional.
Di negara Eropa lainnya, Prancis, Nida Asma Aminiy tinggal di kota Poitiers, sekitar 1,5 jam dengan kereta cepat menuju Paris, salah satu kiblat mode dunia. Poirtiers juga seperti Göttingen, banyak mahasiswanya datang dari seluruh dunia. Nida, yang pernah tinggal di Inggris dan Belanda, melihat banyak perempuan muslim berhijab di kota kecil tersebut.
Keberagaman cara berpakaian mereka cukup mengejutkan. Ada yang memakai abaya berwarna gelap, ada orang asal Afrika yang suka memakai hijab berwarna mencolok dan ‘hits’ dengan warna pakaiannya, ada pula anak muda yang modis dengan hijab pashminanya, bahkan ada yang berhijab sambil berhijab. mengenakan jeans robek. Ada.
Mengenakan hijab sebagai pakaian sehari-hari tidak menjadi masalah di Prancis, kata Nida. Namun berbeda dengan ketika bertransaksi di ruang publik, seperti di lembaga pendidikan atau bekerja di sektor publik dan swasta, yang menjunjung netralitas agama. Setiap orang tanpa kecuali tidak diperkenankan menunjukkan identitas agamanya.
Nida sendiri, selama 2,5 tahun tinggal di negara tersebut, baru satu kali mengalami larangan berhijab. Ia menyatakan, “Saat saya mengajukan izin tinggal, saya lampirkan foto saya mengenakan hijab dari Indonesia yang juga saya gunakan untuk visa saya. Saat itu informasi kami minim. Jadi ketika saya tiba, (saya) ditolak izinnya. untuk mengambil foto mengenakan jilbab.”
Peraturan negara jelas mengatur bahwa di sektor publik, pemerintahan, perusahaan dan lain-lain, tidak boleh ada orang berhijab yang bekerja, kata Nida. Meski larangan berhijab tidak berlaku bagi mahasiswi, namun berbeda dengan di jenjang pendidikan bawah, larangan terhadap dosen yang berstatus PNS tetap berlaku.
Yang paling merasakan dampak dari aturan netralitas beragama tentu saja adalah para muslimah yang mengenakan pakaian tertutup. Nida berkata, “Saya bertanya kepada seorang teman setempat apa yang dia lakukan di sana. jawabnya, ‘Aku hanya seorang ibu rumah tangga, apa gunanya, aku tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bekerja, padahal dia punya ijazah, dia punya pendidikan, tapi tidak bisa digunakan untuk bekerja. . Saat dia bekerja, dia harus melepas hijabnya.”
Di Indonesia, Amalia Dian Ramadhini bersama seorang temannya pada tahun 2012 mendirikan gerakan peduli hijab sebagai kegiatan yang ingin mereka tekuni setelah kuliah. Mereka fokus pada edukasi mengenai hijab, dan memulainya dengan membuka kesempatan bagi masyarakat untuk mendonasikan hijab dan masyarakat dapat mengajukan permintaan hijab jika mereka membutuhkannya. Dengan mengandalkan jaringan pertemanan dan media sosial untuk berdonasi, kata Amalia, “Bulan Mei, Juni, Juli, Agustus kita bagikan hijab, alhamdulillah dari Padang sampai Papua, ada paket yang dikirim ke sana. Semuanya gratis.”
Permintaan donasi dari tempat jauh pun puluhan kali lipat lebih banyak dari perkiraan mereka hingga kewalahan memenuhinya. Ketika mengetahui ada donasi yang dijual kembali, mereka membentuk tim solidaritas peduli hijab untuk merapikan pengorganisasian donasi. Timnya tersebar di berbagai wilayah Indonesia, bahkan hingga luar negeri seperti Jerman dan Taiwan, dengan misi ‘mengakar’ hijab.
Pada 10 tahun pertama gerakan mereka, fokus kepedulian terhadap hijab adalah pada masyarakat yang belum memakainya. Memasuki 10 tahun kedua, mereka mengalihkan fokusnya untuk meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat yang sudah berhijab, menjadikan hijab bukan sekedar pakaian, tapi agar apa yang mereka kenakan selaras dengan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka pikirkan.
Saat ditanya apakah hal ini masih perlu dilakukan di Indonesia yang praktis tidak ada batasan bagi orang yang berhijab, Amalia menjawab, “Masih perlu. Ibaratnya, walaupun kita sudah berada di lingkungan yang kuat, kita tetap perlu memperkuatnya. “PR-nya bukan pendidikan, tapi bagaimana membangun support system yang baik, saling menyemangati agar tetap konsisten berhijab.”
Sejak tahun 2021, Amalia membangun Yayasan Solidaritas Peduli Hijab. Sebagai pembina, inilah salah satu aktivitas ibu empat anak ini selain sebagai aktivis sosial dan pebisnis. Ketika tim peduli hijab sudah banyak tersebar di berbagai kota, peringatan IHSD dinilai menjadi momen yang tepat untuk pergerakan mereka.
Tahun ini, yayasan membuka posko dimana mereka yang belum berhijab bisa mencoba memakainya, selain mendukung mereka yang sudah berhijab namun membutuhkan penguatan. Bentuk kegiatan yang terakhir adalah bincang-bincang pernikahan, mengingat ada fenomena ketika suami istri bercerai maka istri pun ikut melepas hijabnya.
Kegiatan lainnya adalah tukar hijab, pertukaran hijab yang mendapat sambutan baik. Selain sebagai solusi yang lebih baik dibandingkan membeli hijab baru, hal ini juga merupakan partisipasi mereka dalam mengurangi limbah industri.
Sementara itu, Ratna mengaku, selain Hari Hijab Internasional di bulan Februari, ia belum pernah mendengar tentang IHSD di bulan September. Dia tidak pernah memperingati atau berpartisipasi dalam kegiatan terkait. Meski demikian, ia menyambut baik berbagi pengalaman para muslimah berhijab dari berbagai negara selama IHSD untuk mengetahui kondisinya dan saling menguatkan.
Ratna menjelaskan, “Jadi misalnya ada yang mengalami kesulitan, oh lho, di tempat lain ada yang seperti itu, atau kalau di tempat lain lebih mudah, alhamdulillah sudah ada kemajuan di sana. Mungkin dulunya masih sulit, sekarang lebih mudah, ini akan memberikan motivasi.”
Ia pun semakin bersyukur dan merasa dikuatkan dengan bertemu dan bersilaturahmi dengan teman-teman yang berlatar belakang sama di luar Indonesia. Ia pun sangat bersyukur bisa bertemu dengan teman-teman non-Muslim yang baik dan tidak membeda-bedakan.
Amalia pun mengaku bersyukur. Mengingat keterbatasan berhijab di negara lain, ia mengingatkan muslimah di Indonesia harus sangat bersyukur. “Masyarakat sudah tidak lagi mempunyai stigma negatif terhadap hijab,” ujarnya mengingatkan, stigma negatif yang sangat tinggi pada tahun 2005, karena saat itu diketahui istri tersangka kasus bom Bali berhijab. .
“Saya juga terkena dampak dari stigma ini dan saya membuktikan bahwa stigma itu salah. Makanya sekarang di tahun 2023 kita sudah bisa berhijab, ini merupakan berkah yang jarang diapresiasi. “Kebebasan kita berhijab, beribadah dan beragama, alhamdulillah di Indonesia jauh lebih baik,” jelas Amalia.
Sementara bagi sesama muslimah yang berhijab di luar Indonesia, ia berharap tetap berhijab apapun kondisinya.
Lantas, hampir dua dekade setelah IHSD pertama kali diperingati, perlukah hari seperti ini?
Bagi Nida, IHSD masih sangat perlu dikenang. Selain membantu menyebarkan informasi tentang hijab itu sendiri, juga akan mengurangi diskriminasi terhadap muslimah berhijab, kata Nida,
“Tujuan IHSD adalah untuk mendorong dan menyatukan perempuan muslim, khususnya di negara-negara minoritas Muslim, termasuk Perancis, bahwa mereka tidak sendirian, mereka membela haknya untuk berhijab,” ujarnya.
Dengan peringatan tersebut, lanjut Nida, para muslimah semakin percaya diri menunjukkan eksistensinya dengan berhijab, bahwa dunia internasional berpihak pada mereka. Kapan pun hak berhijab ditentang, akan selalu ada pihak yang mendukung dan menyuarakan hak perempuan Muslim untuk berhijab.
Amalia juga menilai IHSD tetap perlu diperingati sebagai momen kesadaran kolektif. Beliau menyatakan, “Prinsipnya kita memperbaiki diri sendiri, mengajak orang lain, dan jangan menghakimi. Jangan berhenti hanya memperbaiki diri sendiri.” [uh/ab]