Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang diselenggarakan di bawah kepemimpinan Indonesia pada 5-7 September di Jakarta masih menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai seberapa sukses Indonesia.
Wakil Direktur Eksekutif Riset, Center for Strategic and International Studies Indonesia (CSIS) Shafiah F. Muhibat mengatakan Komunitas internasional sebenarnya menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan Indonesia dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di kawasan, salah satunya Laut Cina Selatan dan Myanmar.
“Sekali lagi, kita mengawali tahun ini dengan harapan besar terhadap Indonesia. Jadi memasukkan dua hal ini ke dalam daftar pencapaian sebenarnya merupakan hal yang kecil untuk mendapatkan kursi sebesar dan sepenting Indonesia. Jadi saya harus jujur soal itu, kata Shafia dalam forum diskusi Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), di Jakarta, Jumat (15/9).
Dua prestasi Indonesia yang dimaksud Shafiah adalah percepatan perundingan kode etik (Kode etik/CoC) dan pembacaan kedua draft perundingan tunggal.
Lebih lanjut, perempuan yang akrab disapa Fifi ini mengatakan tingginya ekspektasi terhadap kepemimpinan Indonesia bukan tanpa alasan. Hal itu, kata dia, mengacu pada hubungan Indonesia dan China. Beijing sendiri hanya memandang Indonesia sebagai sebuah negara.
“Indonesia harus memiliki hubungan baik dengan Tiongkok. “Pengaruh yang lebih baik sebagai ketua untuk benar-benar membuat inisiatif tertentu sehubungan dengan Laut Cina Selatan,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, sekaligus munculnya konflik baru di Laut Cina Selatan yang terjadi beberapa pekan sebelum KTT ASEAN di Jakarta digelar, merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan.
“Jadi, ini memang perkembangan negatif yang terjadi beberapa minggu sebelum KTT. Dan untuk itu tidak ada reaksi yang lebih kuat. “Hasil KTT menurut saya hanya menimbulkan tanda tanya, dan tanda tanya seperti ini bisa dikatakan berbahaya dalam melihat prospek perundingan CoC,” jelasnya.
Menurutnya, hal tersebut menimbulkan rasa pesimisme, bahwa kedepannya kepemimpinan ASEAN selanjutnya yang akan dijabat oleh Laos tidak akan jauh berbeda dengan kepemimpinan Indonesia.
“Saya khawatir putaran kepemimpinan tahun depan hanya akan menjadi pengulangan dari pernyataan bahwa kita telah mencapai hal ini, kita telah mencapai hal itu, sementara banyak orang akan kecewa karena mereka memiliki harapan tertentu,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R. Suryodipuro mempertanyakan tingginya ekspektasi dan harapan terhadap Indonesia sebagai ketua ASEAN sebelumnya. Sidharto menegaskan, Indonesia merupakan negara yang selalu menghormati Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan urusan maritim, kebebasan navigasi, dan penebangan kayu lintas batas.
Indonesia, kata dia, juga sudah menyerukan hal tersebut kepada negara-negara lain di luar kawasan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memastikan semua pihak juga menjunjung tinggi dan melaksanakan kebebasan navigasi di wilayahnya.
“Ini adalah aturan dan norma yang harus diterapkan secara setara. “Jadi ini poin penting,” kata Sidharto.
Sidharto juga menggarisbawahi, tidak ada drama baru seputar Laut Cina Selatan pada pertemuan puncak yang digelar baru-baru ini. Menurut dia, belum ada pernyataan tersendiri yang dikeluarkan sejumlah negara terkait situasi di Laut Cina Selatan.
Hal terpenting bagi ASEAN dan Indonesia sebagai Ketua ASEAN sebelumnya, kata Sidharto, adalah memastikan solidaritas dan persatuan tetap terjaga di dalam ASEAN. Ia menegaskan, ASEAN merupakan entitas yang sangat beragam, dengan berbagai kepentingan di dalamnya, termasuk isu maritim.
“Tetapi fakta bahwa 10 dan sekarang 11 negara anggota keluar dengan satu suara juga penting. “Jadi menurut saya angka-angka seperti yang saya katakan, prestasi yang tenang adalah prestasi,” jelasnya.
Terkait perundingan CoC, Sidharto mengatakan Indonesia cukup optimis akan melakukan sejumlah terobosan, meski diakuinya hal tersebut bukan hal yang mudah.
“Negosiasi CoC telah berlangsung selama beberapa tahun. Kami tidak ingin proses ini terjadi dalam kelembapan. Saya yakin kita mempunyai ruang untuk mempercepat negosiasi, mudah-mudahan segera, namun negosiasi tidak pernah cepat. Kecuali itu mudah,” tegasnya.
Konflik Myanmar yang tak kunjung usai juga dibahas dalam forum diskusi ini. Seperti diketahui, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan bahwa ASEAN menyimpulkan belum ada kemajuan signifikan dalam penerapan lima poin konsensus (fkonsensus lima poin/5PC) terhadap konflik Myanmar.
Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN (DSG) Bidang Komunitas Politik-Keamanan Robert Matheus Michael Tene mengatakan, berdasarkan tinjauan para pemimpin, pada paragraf kedua diakui bahwa kekerasan dan penderitaan masih terus berlanjut di Myanmar. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan belum membaik.
Dalam kesempatan tersebut, Michael menggarisbawahi bahwa konflik di Myanmar merupakan konflik internal di dalam negara itu sendiri. Dengan begitu, yang bisa menyelesaikannya adalah Myanmar sendiri, bukan pihak luar.
Menurutnya, seluruh pihak yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung selalu berusaha membantu menyelesaikan konflik dengan berbagai cara, termasuk dengan memberikan bantuan kemanusiaan dan membantu proses perdamaian.
“Namun pada akhirnya, situasi ini harus diselesaikan oleh pihak-pihak di Myanmar yang saling berkonflik. Pihak luar hanya bisa memfasilitasi, kalau fasilitasnya mungkin lebih baik dan tentunya masih dalam tahap pengembangan, mungkin bisa membantu memediasi para pihak. Namun pada akhirnya, hal ini harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkonflik di Myanmar, tutupnya. [gi/ah]