Dari Semangat Prinsip Bandung Hingga Absennya Jokowi

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi membuka pidatonya di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Sabtu (23/9) sore waktu Amerika Serikat (AS) dengan memamerkan pakaian yang dikenakannya yang berbahan dasar kain khas Nusa Tenggara Timur. . Ia menyebutkan kain khas berbagai daerah lain yang dikenakan delegasi Indonesia.

Berbagai kain khas daerah yang diperkenalkan Retno merupakan representasi Keberagaman, prinsip-prinsip yang ingin diusung Indonesia sebagai solusi permasalahan defisit kepercayaan dan kesenjangan yang dihadapi dunia saat ini.

“Kita berbeda-beda, tapi kita satu,” ujarnya.

Menlu Retno kembali menekankan pentingnya mendorong kembali solidaritas dan tanggung jawab bersama, sejalan dengan tema sidang tahunan yang bertujuan untuk membangun kembali rasa saling percaya. Ia mengingatkan, semangat yang juga diungkapkan dalam Prinsip Bandung hampir lebih dari enam dekade lalu masih relevan hingga saat ini.

Bagi Indonesia, kepemimpinan dunia tidak boleh mengutamakan kekuasaan atau pengaruh untuk mendikte pihak lain, ujarnya. “Nasib dunia tidak boleh ditentukan oleh beberapa (negara) besar,” tegasnya.

Menggarisbawahi konsistensi sikap Indonesia terhadap Palestina, Menlu Retno kembali menyampaikan dukungan Indonesia terhadap terwujudnya negara Palestina.

Peserta Sidang Majelis Umum PBB ke-78 mendengarkan pidato Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov di markas besar PBB di New York, Sabtu, 23 September 2023. (Foto: Eduardo Munoz/Reuters)

Peserta Sidang Majelis Umum PBB ke-78 mendengarkan pidato Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov di markas besar PBB di New York, Sabtu, 23 September 2023. (Foto: Eduardo Munoz/Reuters)

Ia juga menyampaikan dukungan Jakarta terhadap nasib masyarakat Afghanistan, khususnya perempuan dan anak perempuan yang haknya dibatasi oleh pemerintahan Taliban.

Terkait invasi Rusia ke Ukraina, seperti tahun lalu, Retno tidak menyebut nama kedua negara tersebut dalam pidatonya. Namun, ia menekankan kewajiban semua negara untuk menghormati hukum internasional, khususnya prinsip dasar kedaulatan dan integritas wilayah.

Hal ini juga menuntut negara-negara maju, atau biasa disebut negara Global Utarauntuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam memerangi perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut, termasuk melalui pendanaan iklim, investasi hijau, dan transfer teknologi ke negara-negara berkembang alias Dunia Selatan.

Retno berharap akses terhadap teknologi digital yang aman, termasuk kecerdasan buatan (Kecerdasan buatan/AI) juga disediakan untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Jokowi Absen Lagi

Dalam sambutannya, Retno juga menyinggung keberhasilan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara/ASEAN) – yang pada tahun ini dipimpin oleh Indonesia di bawah komando Presiden Joko Widodo (Jokowi) – dalam mengarungi dinamika geopolitik di kawasan. Ia mengatakan ASEAN tidak akan membiarkan dirinya menjadi pion dalam persaingan pengaruh.

Retno menggantikan Presiden Joko Widodo yang selama hampir sembilan tahun pemerintahannya tidak pernah menghadiri sidang Majelis Umum PBB di New York City.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75 melalui rekaman video di markas besar PBB di New York, 22 September 2020, di tengah merebaknya pandemi COVID-19.  (Foto: Loey Felipe/AFP)

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-75 melalui rekaman video di markas besar PBB di New York, 22 September 2020, di tengah merebaknya pandemi COVID-19. (Foto: Loey Felipe/AFP)

Sepanjang masa kepemimpinan pertamanya pada 2014-2019, Jokowi rutin mengutus Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk berpidato di hadapan DPR. Pada periode kedua sejauh ini, Jokowi sudah mengutus Menlu Retno pada tahun 2022 dan 2023.

Jokowi sendiri baru dua kali berpidato di hadapan Majelis Umum, yakni pada tahun 2020 dan 2021 di tengah pandemi COVID-19. Hal itu juga melalui rekaman video karena uji coba tahun 2020 dilakukan secara online untuk mencegah penyebaran virus mematikan tersebut. Sedangkan pada tahun 2021, uji coba akan dilaksanakan secara online dan offline (luring)

Saat ditanya mengenai pandangan Presiden terhadap Sidang Umum PBB untuk Indonesia yang belum pernah dihadiri langsung oleh Presiden, Retno menjelaskan, Presiden Jokowi menilai forum tersebut masih relevan.

“Sangat relevan, karena di sinilah kita merumuskan proses pengambilan keputusan internasional. Pertanyaannya, sebenarnya pernahkah Indonesia absen di forum-forum internasional? Jawabannya adalah tidak. Bahkan kita sangat aktif di berbagai forum, termasuk di PBB, kata Retno.

Kesempatan yang terbuang

Peneliti Program Asia Tenggara CSIS Washington, DC, Andreyka Natalegawa, mengatakan ketidakhadiran Jokowi dalam sidang Majelis Umum PBB bukan hanya menunjukkan fokus awal Jokowi pada melihat ke dalam atau lebih mementingkan urusan dalam negeri, tetapi juga pendekatan pragmatis terhadap kebijakan luar negeri.

Andreyka melihat kecenderungan Jokowi lebih aktif menghadiri forum-forum internasional yang lebih kecil, seperti G20 (kelompok 20 negara ekonomi terbesar), KTT ASEAN, atau bahkan BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) belum lama berselang. Dalam forum tersebut, Indonesia diundang sebagai pengamat (pengamat). Hal ini menunjukkan sikap Jokowi yang pragmatis karena forum-forum tersebut memberikan hasil yang lebih konkrit terhadap isu-isu yang lebih spesifik.

Andreyka Natalegawa, peneliti Program Asia Tenggara di CSIS, Washington DC.

Andreyka Natalegawa, peneliti Program Asia Tenggara di CSIS, Washington DC.

Namun, ia menilai ketidakhadiran langsung Jokowi di Majelis Umum PBB merupakan kesempatan yang sia-sia.

“Meskipun pertemuan Majelis Umum PBB tidak seaktif pertemuan beberapa kelompok kecil dalam mencapai hasil yang konkrit, pertemuan di PBB tetap menjadi platform penting untuk memberi sinyal, terlibat dengan komunitas internasional yang lebih luas, dengan negara-negara yang biasanya tidak akan melakukan hal yang sama,” kata Presiden Jokowi. berbicara dengannya dalam pertemuan atau pertemuan bilateral,” jelas Andreyka.

Tak berhenti sampai disitu, Andreyka menilai absennya Jokowi juga akan berdampak buruk pada citra Indonesia di kancah dunia. Terdapat persepsi dari beberapa negara, seperti Amerika, Inggris, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, bahwa Indonesia belum memaksimalkan perannya di kancah internasional, padahal Indonesia memiliki sumber daya dan kemampuan diplomasi yang melimpah.

“Ketidakhadiran berturut-turut Presiden Jokowi dalam rapat Majelis Umum PBB hampir menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak ingin terlibat di tingkat politik tertinggi, dan itu sungguh merupakan reputasi buruk yang sulit dihilangkan,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, presiden Indonesia mendatang akan memikul beban pekerjaan rumah untuk membangun kembali kepercayaan dan melibatkan Indonesia di ranah global, sehingga ke depan ia dapat terus mengembangkan politik luar negeri yang sesuai dengan kepentingannya.

Presiden Jokowi sendiri masih mempunyai satu kesempatan terakhir pada tahun depan untuk menghadiri Sidang Umum PBB di New York City, AS. [rd/em/ft]

Tinggalkan Balasan