Lima tahun pasca bencana alam gempa di Sultra, masih banyak penyintas yang belum mendapatkan hunian permanen (huntap) yang dijanjikan pemerintah. Salah satunya Sri Tini Haris (54) yang masih tinggal di tempat tinggal sementara (huntara) di kawasan hutan kota Kota Palu.
Shelternya terbuat dari bahan calciboard berukuran 3 x 4 meter. Sedianya shelter tersebut ditargetkan hanya akan ditempati paling lama dua tahun hingga pembangunan shelter selesai, namun ternyata hingga 28 September 2023, Sri Tini dan keluarga masih tetap menempati shelter tersebut. Hunian permanen disediakan bagi warga terdampak bencana (WTB) yang direlokasi dari tempat asalnya yang masuk zona merah tsunami dan likuifaksi.
“Lima tahun itu benar-benar merampas hak kami untuk hidup. Mengapa saya mengatakan itu? Bayangkan saja, kita mempunyai anak-anak yang sudah dewasa ingin tinggal di rumah berukuran 3×4 tanpa ada sekat atau sebagainya. Tentang apa itu? 5 tahun dengan lantai triplek apakah akan hancur? “Yang sangat saya tekankan, tolong dipercepat,” kata Sri Tini dalam diskusi memperingati 5 tahun Bencana Pasigala yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Rabu (27/9) malam.
Perempuan penyintas tsunami ini mengungkapkan, tinggal di pengungsian dalam waktu lama berisiko bagi kesehatan mentalnya. Banyak penyintas yang stres karena tidak ada kepastian apakah mereka benar-benar akan mendapat hunian permanen yang dibangun pemerintah atau tidak. Belum lagi tekanan ekonomi untuk membiayai kebutuhan sehari-hari akibat pekerjaan yang tidak menentu.
“Apakah itu berburu atau tidak? Karena itu, banyak orang meninggal di tempat kami. Bahkan, ada dua orang yang bunuh diri, ada yang meminum racun, ada pula yang menjadi mandiri. Belum lagi permasalahan lain seperti pelecehan seksual. Disini kami mohon kepada pemerintah terkait, usahakan, kalau tidak diberikan, berikan saja tanahnya kepada kami. “Nanti gubuknya kita bangun sendiri, mudah saja,” kata Sri Tini yang pernah menjadi pemulung sampah plastik untuk menghidupi keluarganya.
Pembangunan perumahan masih terlambat dua tahun
Mohamad Syafari Firdaus, selaku Ketua Tim Monitoring Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sulteng dari organisasi Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng mengatakan, dari total kebutuhan 8.399 unit, unit rumah yang tersedia hingga Agustus 2023 adalah 4.454 unit.
Masih ada 3.798 unit (45 persen) dalam tahap pembangunan, dan 147 unit belum terbangun sama sekali. Padahal, seharusnya pembangunan perumahan tersebut selesai dalam waktu 2,5 tahun setelah terbitnya Peraturan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 10 Tahun 2019 tentang Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, pada 12 April 2019.
“Karena kalau mengacu pada masterplan, rehab rekon (rehabilitasi dan rekonstruksi-red) di sana jelas disebutkan bahwa dalam waktu 2,5 tahun, rumah permanen harus diserahkan kepada WTB (warga terdampak bencana-red)…jadi sekarang “Sudah dua tahun, dua tahun ingkar janji,” kata Firdaus lirih.
Menurutnya, pemerintah gagal menjalankan amanah pemenuhan hak atas perumahan bagi warga terdampak bencana di Sulawesi Tengah. Hal ini juga melanggar hak para penyintas untuk merasa aman, hak atas kesehatan, dan hak atas lingkungan yang aman dan nyaman.
Pemerintah daerah dan Kementerian PUPR, lanjutnya, harus memikul tanggung jawab bersama untuk memastikan warga terdampak bencana (WTB) berhak mendapatkan tempat tinggal permanen.
Mereka yang masih tinggal di shelter atau sudah tidak mempunyai tempat tinggal, juga harus mendapat jaminan layak huni, setidaknya agar WTB bisa hidup lebih layak dan tidak terlantar. Menurut Firdaus, diperkirakan masih ada sekitar 900 kepala keluarga yang menghuni hunian sementara di Desa Petobo kawasan hutan kota, Desa Mamboro, Lere di Kota Palu, dan Mpanau Huntara di Kabupaten Sigi.
Kendala Lahan
Kuatnya M Abdu, as penyedia pengawasan pemimpin tim Kementerian PUPR menyebutkan lambatnya pembangunan hunian tetap antara lain disebabkan oleh ketersediaan lahan yang disediakan pemerintah daerah yang belum jelas dan bersih statusnya yang dibuktikan dengan surat tidak keberatan (NOL). Pembangunan shelter sementara 1.600 WTB di Kota Palu baru bisa dilaksanakan setelah permasalahan lahan selesai pada akhir tahun 2022 untuk lokasi shelter sementara di Kecamatan Talise dan Tondo.
“Dan yang harus kita pahami bersama, setelah lahan bersih dan bersih, PUPR baru masuk setelah mendapat NOL. Talise pertengahan tahun 2022. Nol baru keluar. Tondo nanti, sekitar akhir tahun 2022. Jadi sebelumnya yang PUPR belum bisa bangun, karena angka nolnya belum keluar,” jelas Teguh.
Saat ini di lokasi shelter Tondo 2 masih terdapat lahan untuk pembangunan 160 unit rumah yang digugat warga sekitar.
Permasalahan lain terkait lahan yang disediakan pemerintah daerah adalah letaknya yang terpencil dan belum mempunyai akses jalan masuk untuk mengangkut material pembangunan shelter. Sedangkan pembukaan akses jalan menuju lokasi ini membutuhkan biaya tiga hingga empat kali lipat dibandingkan nilai rumah.
Pembangunan Huntap diharapkan selesai pada akhir tahun 2023
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Perumahan Permanen Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II Kementerian PUPR, Zulfahmi mengatakan, pihaknya terus berupaya mempercepat penyelesaian perumahan permanen yang diharapkan selesai pembangunannya pada akhir tahun 2023 sehingga Kegiatan perumahan dapat dimulai pada awal tahun 2024.
Meski saya akui tidak berjalan semulus yang kami harapkan. Tapi mudah-mudahan seperti yang saya sampaikan tadi, target okupansi kita di bulan Januari,” ucap Zulfahmi.
Diperkirakan seluruh kegiatan pembangunan termasuk infrastruktur pendukung seperti ruang terbuka hijau akan selesai pada Juni 2024. [yl/em]