Jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga tidak mengalami penurunan, meskipun sejak tahun 2004 pemerintah Indonesia telah menerapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Beberapa survei dan penelitian antara tahun 2021 dan 2023 mendukung temuan ini. Survei Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) tahun 2022 menemukan, sejak awal tahun 2022 hingga Juni 2023, terdapat 15.921 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan. Data tersebut mencakup 7.940 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan dewasa atau kasus KDRT, 2.948 kasus KDRT disertai kekerasan seksual, dan 2.199 kasus penelantaran. Survei ini juga mencatat kekerasan terhadap anak mencapai 25.802 kasus.
Temuan ini nampaknya membenarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan di Indonesia yang menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Aminah Tardi, mengatakan, keterkaitan kasus KDRT dengan miskonsepsi relasi kekuasaan antara suami dan istri, misalnya, membuat angka kasus KDRT masih tinggi. .
Laki-laki, lanjutnya, dikonstruksikan lebih unggul dari perempuan dan dianggap mempunyai hak untuk mengontrol dan mengatur perempuan dalam berbagai hal, termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual, serta penelantaran ekonomi.
Menurut Aminah, UU PKDRT yang melarang segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga. Intervensi sosial non-hukum diperlukan, seperti pendidikan masyarakat tentang hubungan kesetaraan gender, tafsir agama yang membangun hubungan setara dan saling menguntungkan dalam rumah tangga, serta pelatihan atau peningkatan keterampilan dalam mengurus rumah tangga.
Lebih lanjut Aminah mengatakan, meningkatnya kasus KDRT tidak lepas dari meluasnya penggunaan teknologi informasi, media sosial, dan terbatasnya waktu untuk berkomunikasi.
Artinya kita harus merenungkan, apakah ketentuan tentang perintah perlindungan sudah dilaksanakan dengan baik? Apakah negara sudah memberikan bantuan, menguatkan korban dan memberikan perlindungan bagi korban? Dll. “Dengan refleksi ini, kita dapat mendorong hal-hal yang perlu diperbaiki untuk mencegah terulangnya kekerasan dalam rumah tangga dan memenuhi hak-hak korban,” kata Aminah kepada KILAT NUSANTARA.
Secara terpisah, Eka Ernawati dari Koalisi Perempuan Indonesia mengatakan, hal lain yang membuat kasus KDRT tetap tinggi adalah rendahnya kesadaran perempuan dan kesalahpahaman bahwa KDRT adalah hal yang tidak boleh dibicarakan dengan pihak luar. Ada pula faktor keengganan perempuan untuk meminta pertolongan karena memikirkan kondisi anak dan cucunya.
“Ketika ada laporan terkait kekerasan dalam rumah tangga, APH lebih mengutamakan penyelesaiannya secara kekeluargaan. Tidak diarahkan pada adanya aturan yang bisa menjerat yang bisa memberikan efek jera bagi pelakunya atau aturan yang melindungi korban sehingga tidak ada lagi yang bisa dicegah. Korban merasa aman,” jelasnya.
Resolusi keluarga, menurut Eka, berarti korban tidak pernah mendapatkan keadilan, padahal tentu saja korban tidak mendapatkan keadilan dan pelaku juga merasa aman karena tidak ada tindakan yang dilakukan sehingga rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga berulang kali. Apalagi pelakunya merupakan orang terdekat dan memiliki ikatan emosional yang tinggi.
Data Komnas Perempuan menyebutkan sepanjang tahun 2022, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 457.895 kasus. Dari jumlah tersebut, 61 persen kasus terjadi di ranah privat, dan 91 persennya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Rumah Tangga Rentan Eni Widiyanti mengatakan kementeriannya terus melakukan kampanye dan sosialisasi serta membangun literasi masyarakat Indonesia terkait pencegahan dan penanganan kekerasan dalam rumah tangga melalui UU PKDRT.
“Pada September 2023, UU PKDRT akan berusia 19 tahun. “Selama 19 tahun kehadiran UU KDRT dalam memberikan jaminan perlindungan bagi korban KDRT dinilai masih belum sepenuhnya optimal karena masih banyak kejadian berulang dan kasus KDRT serupa dimana dominasi korban KDRT adalah perempuan,” kata Eni.
Menurutnya, kampanye tersebut juga dilakukan sebagai bentuk mengajak masyarakat Indonesia untuk berani bersuara atau Berani Berbicara untuk segala bentuk kekerasan yang dialami, diketahui atau dilihat. Banyak contoh nyata kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan namun tidak dilaporkan atau dicabut laporannya karena alasan rumah tangga, sehingga terkadang korban diminta berdamai dengan pelaku. [fw/em]