Puluhan warga penyintas bencana alam 28 September 2018 di Kota Palu dan Kabupaten Sigi, Senin (2/10), menggelar aksi unjuk rasa di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah di Palu. Mereka menuntut pemerintah segera menyelesaikan pembangunan rumah tetap (huntap) karena bangunan tempat tinggal sementara (huntara) yang mereka tinggali terancam dibongkar oleh pemilik tanah.
Perumahan sementara dibangun di atas tanah milik penduduk yang dipinjamkan untuk jangka waktu dua tahun dengan asumsi tempat tinggal tetap telah selesai dalam jangka waktu tersebut. Selain menuntut percepatan pembangunan rumah permanen, mereka juga mendesak pemerintah mencegah pembongkaran paksa rumah sementara tempat mereka tinggal saat ini.
“Kemarin Pak, kami ada shelter sementara yang dibongkar, dipaksa keluar oleh pemilik lahan, khususnya warga yang selamat di Layana (kecamatan) dan pemerintah tutup mata dan menutup telinga,” kata Wiwin yang merupakan koordinator lapangan. demonstrasi tersebut.
Dalam aksi unjuk rasa yang digelar Komunitas Celebes Mobile, para penyintas juga menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengawasi pelaksanaan penanggulangan bencana di Palu, Sigi, dan Donggala.
Adriansa Manu, Koordinator Celebes Bermobil, mengatakan berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, masih ada 7.109 kepala keluarga yang belum mendapat kepastian tempat tinggalnya. Padahal pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018 memerintahkan selesainya pembangunan seluruh bangunan tempat tinggal permanen bagi warga terdampak bencana paling lambat tanggal 31 Desember 2020. Namun pembangunan rumah permanen bagi mereka ternyata urung dilakukan. berjalan perlahan, hingga Presiden kembali mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2022 yang akan berakhir pada 31 Desember 2024.
“Anggaran rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana sangat fantastis. Untuk dana stimulan saja tahun 2019 ada (Rp) 1,9 triliun pak, dan sampai saat ini masih ada warga yang belum menerima dana stimulan. Itu juga belum selesai, baru dicairkan lagi (Rp 8,11 triliun, Pak. Itu juga belum selesai. “Hanya satu, 1.600 unit rumah hunian yang terbangun dari rencana pemerintah sebanyak 8.000 unit,” tegas Adriansa Manu.
Kendala Lahan dan Tuntutan Hukum
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Pemprov Sulteng, Adiman mengatakan, pembangunan hunian tetap bagi penyintas bencana terkendala ketersediaan lahan. Hingga saat ini pihaknya masih menghadapi gugatan hukum terkait lahan yang menjadi lokasi pembangunan hunian permanen di Tondo 1.
Sementara Tondo Satu saat ini masih menghadapi gugatan terkait lokasi itu. Bayangkan. Ini bagi banyak orang, gubernur terus digugat, kami masih digugat di pengadilan, kata Adiman.
Kendala lain yang dihadapi pemerintah, menurut Adiman, adalah masih adanya penyintas bencana alam yang juga menolak ditempatkan di hunian permanen yang dibangun di atas lahan di luar kawasan Kota Palu.
Menurut Adiman, Pemprov Sulteng menunggu hingga selesainya pembangunan hunian tetap yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Apabila dirasa kurang, Pemprov Sulteng bisa turun tangan menyediakan hunian tetap.
“Kita tunggu dulu apa penyelesaian PUPR, baru kita tindak, kita lihat data-data yang tersisa, baru kita intervensi,” kata Adiman menanggapi kekhawatiran para penyintas.
Tidak mempunyai sertifikat tanah
Ibu Titi, 40 tahun, mengungkapkan, setelah lima tahun kondisi hunian sementara yang ia tempati sejak tahun 2019 semakin parah. Sementara bagi Titi, penantian panjang mendapatkan hunian permanen selama 5 tahun terakhir sepertinya berakhir sia-sia karena tak punya bukti sertifikat tanah.
“Dulu kami dijanjikan hal seperti itu – untuk mendapat perburuan – tapi sekarang ditunda karena kami tidak punya hak. “Kami lalu menumpang ke pantai, tapi saat itu kami punya usaha mebel,” kata Titi yang kehilangan suaminya dalam peristiwa tsunami di Teluk Palu, saat ia dirawat di rumah sakit selama hampir 3 bulan.
Titi menyampaikan kepada KILAT NUSANTARA harapannya agar pemerintah pusat dan daerah memberikan perhatian kepada masyarakat kecil terdampak bencana alam seperti dirinya agar bisa mendapatkan tempat tinggal permanen.
Pada kesempatan terpisah, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Perumahan Permanen Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II Kementerian PUPR Zulfahmi mengungkapkan, pihaknya terus melakukan upaya percepatan penyelesaian perumahan permanen yang diharapkan selesai pembangunannya oleh Pemerintah. akhir tahun 2023 sehingga aktivitas pemukiman dapat dimulai pada awal tahun 2024 .
Meski saya akui tidak berjalan semulus yang kami harapkan. Tapi mudah-mudahan seperti yang saya sampaikan tadi, target okupansi kita di bulan Januari,” kata Zulfahmi dalam diskusi memperingati 5 Tahun Bencana Pasigala yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Rabu (27/9).
Diperkirakan seluruh kegiatan pembangunan, termasuk infrastruktur pendukung seperti ruang terbuka hijau, akan selesai pada Juni 2024. [yl/ah]