Ancaman perubahan iklim yang semakin mendesak mendorong negara-negara ASEAN untuk mulai bekerja sama melalui program 20 tahun untuk mengembangkan jaringan distribusi listrik di kawasan.
Tujuannya adalah untuk mempercepat transisi ke sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan pembangkit listrik tenaga air, dengan memfasilitasi transfer energi dari negara-negara yang surplus ke negara-negara yang membutuhkannya.
Pada bulan Agustus, perusahaan utilitas di Malaysia dan Indonesia menandatangani nota kesepahaman untuk mempelajari 18 lokasi potensial di mana jalur transmisi lintas batas dapat dibangun.
Perjanjian tersebut, selain perjanjian perdagangan energi antara Laos, Malaysia, Thailand, dan Singapura, ditandatangani di sela-sela Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-41 yang diselenggarakan bersamaan dengan forum bisnis energi regional pada 24 Agustus di Bali. Indonesia.
Beni Suryadi, Manajer Energi, Bahan Bakar Fosil, Energi Alternatif dan Penyimpanan di Pusat Energi ASEAN di Jakarta, mengatakan bahwa rute antar negara layak secara ekonomi dan teknis, dan didukung oleh pemerintah di kawasan. Energi terbarukan “telah menjadi kebutuhan penting bagi setiap negara,” katanya.
Permintaan energi di Asia Tenggara tumbuh lebih dari 80% antara tahun 2000 dan 2019, dan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan tahun 2020, menurut laporan Dewan Bisnis ASEAN-Uni Eropa tahun 2023.
Laporan tersebut menekankan pentingnya peralihan ke energi terbarukan, dengan mengatakan bahwa “cuaca yang lebih buruk, naiknya permukaan air laut dan penyebaran penyakit tropis semuanya menyertai perubahan iklim, dan banyak bencana lainnya. Diperkirakan perubahan iklim dan dampaknya akan menghapus 11% PDB ASEAN pada tahun 2100.”
Dato’ Indra Ir. Baharin, presiden dan CEO perusahaan utilitas nasional Malaysia, menyebut jaringan listrik yang saling terhubung di ASEAN sebagai “sebuah langkah penting dalam transisi energi di kawasan ini.”
“Interkoneksi regional yang kuat akan memungkinkan realokasi sumber daya energi terbarukan yang lebih luas, yang akan membantu dekarbonisasi sistem tenaga listrik ASEAN,” kata Baharin pada Agustus lalu. “Hal ini akan membantu kita memastikan keamanan energi di kawasan ini… dan melakukan transisi menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.”
Darmawan Prasodjo, presiden direktur perusahaan utilitas milik negara, mengatakan bahwa, “Kita akan memasuki fase penting transisi energi yang menawarkan tantangan luar biasa, namun juga peluang luar biasa.”
“Namun,” katanya, “kita harus mengatasi kompleksitas perancangan dan pembangunan jaringan listrik yang saling terhubung. Kompleksitas penyelarasan kebijakan. Kompleksitas tantangan teknis. Kompleksitas kelangsungan komersial. Kompleksitas investasi modal yang besar.”
Peerapat Vithayarichareon, konsultan utama DNV untuk sistem energi di kawasan Asia Pasifik, mengatakan Jakarta Post bahwa perluasan energi ramah lingkungan di kawasan ini terhambat oleh dukungan kebijakan yang tidak memadai dan terbatasnya akses terhadap modal.
“Dari sudut pandang teknis, terdapat kekhawatiran mengenai potensi dampak jaringan listrik lintas batas terhadap sistem ketenagalistrikan di negara-negara tersebut,” ujarnya.
“Negara tidak bisa begitu saja beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke energi terbarukan,” lanjutnya. “Kita perlu mempersiapkan sistem untuk mengakomodasi peningkatan penggunaan pembangkit listrik tenaga angin dan surya, misalnya.”
Ryan Wong dan Lee Poh Onn dari ISEAS Yusof Ishak Institute, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di Singapura, menulis pada bulan Februari 2022 bahwa ada keraguan apakah pemerintah di Asia Tenggara mengakui manfaat dari harmonisasi jaringan energi mereka dan menjual kelebihan energi.
“Negara-negara Asia Tenggara umumnya berpikiran sempit dalam mengambil kebijakan. “Oleh karena itu, diperlukan kemauan politik yang kuat bagi mereka untuk melihat melampaui batas negara dan kebutuhan mendesak,” tulis mereka. [rd/rs]