Presiden Joko Widodo mengaku sudah menerima surat pengunduran diri Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian pada Kamis (5/10) malam dan sudah menyetujuinya.
Jokowi juga menunjuk Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo sebagai Pj Menteri Pertanian.
“Tadi malam saya sudah diberikan surat pengunduran diri Menteri Pertanian dari Menteri Negara, dan sudah saya terima, dan tadi pagi sudah ditindaklanjuti dan saya tandatangani juga. Penggantinya tetap Plt. “Pj. Pak. . Arief Prasetyo, Kepala Badan Pangan Nasional,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Jumat (6/10).
Alasan Jokowi memilih Kepala Bapanas sebagai Pj Menteri Pertanian adalah untuk memudahkan kementerian dan lembaga terkait dalam menjalankan fungsi pokoknya yang saling berkaitan satu sama lain.
“Agar lebih koordinatif, supaya lebih mudah, karena biasanya kita, Bulog, Badan Pangan, Kementerian Pertanian, Menteri Perdagangan harus selalu satu. Jadi untuk konsolidasi agar lebih mudah,” imbuhnya.
Saat ditanya apakah Jokowi akan menunjuk pengganti Syahrul dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Jokowi tak menjawab secara gamblang. Dia hanya menegaskan, posisi Menteri Pertanian akan ditentukan secepatnya.
“(Pastinya?) Secepatnya. (Apakah dari Nasdem?) Secepatnya,” jawabnya singkat.
Sementara itu, saat ditemui di Menara Nasdem, Kamis (5/10) malam, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan hal itu usai mendapat laporan dari Syahrul. Ia menginstruksikan pejabat Partai Nasdem itu segera menyampaikan surat pengunduran diri kepada Presiden Jokowi. Menurutnya, hal itu harus dilakukan agar Syahrul bisa berkonsentrasi penuh pada penyidikan yang tengah dijalaninya.
Hal itu, lanjutnya, juga merupakan komitmen Partai Nasdem untuk selalu memberikan konsistensi dan penghormatan terhadap upaya penegakan hukum yang ada.
“Untuk apa? Sekali lagi memberikan penghormatan terhadap upaya penyelidikan yang sedang berlangsung terhadapnya, sehingga ia dapat berkonsentrasi penuh. Dan tentunya saya ingin mengajak semua pihak untuk terus memberikan ruang penghormatan kita terhadap asas praduga tak bersalah. Membuat kesalahan, menjalaninya, menghadapinya, melaksanakannya adalah prinsip yang teguh bagi kami. “Ini yang terpenting, Nasdem tetap berkomitmen pada komitmennya, ada masalah, jangan lari dari masalah, hadapi masalah,” kata Surya Paloh.
“Kami ingin mampu memberikan semangat dan nilai-nilai kepeloporan untuk selalu menjadi yang terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi. Agar negara kita bisa menjadi lebih baik, sehingga harapan dan impian bisa terwujud,” imbuhnya.
Saat ditanya soal dugaan adanya upaya politisasi hukum terhadap kadernya, ia berharap hal itu tidak terjadi.
Itu yang kami semangat, kalaupun sudah dicoba tapi tetap saja terjadi, di luar kemampuan kami. Kami jaga pihak Nasdem, tidak ada upaya politisasi. hukum, tapi kita bukan penegak hukum, kita lembaga partai politik. Adakah yang menjamin aparat penegak hukum bebas sepenuhnya? Tidak ada politisasi persoalan penegakan hukum? Itu catatan samping, rekam jejak dan sebagainya. “Saya Saya kira teman-teman pers lebih memahami hal itu,” jelasnya.
Dengan keterlibatan Syahrul Yasin Limpo dalam kasus dugaan korupsi, sudah ada dua menteri Partai Nasdem yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, Johhny G Plate yang menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika diperiksa dalam kasus korupsi.
Surya mengaku tak menampik, terjeratnya kedua tokoh Nasdem itu akan berdampak pada elektabilitas partainya yang saat ini mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024. Meski demikian, ia yakin upaya Partai Nasdem menghadirkan gerakan perubahan demi Indonesia yang lebih baik akan tetap diperhatikan masyarakat.
“Pasti ada. Tapi sejauh mana pengaruhnya, padahal masyarakat masih punya harapan dan keinginan? Upaya menjalankan misi baru gerakan perubahan ini harus berjalan sesuai harapan. Saya yakin kesalahan tidak berdampak negatif, In syaa Allah Mungkin Anda akan mendapatkan sesuatu, mungkin empati, jika Anda melihat pendekatan ini dengan jujur, terbuka, di mana kesalahannya dan sebagainya. “Tetapi sampai saat ini saya harus sampaikan, kita memberikan kesempatan dan rasa hormat kepada aparat penegak hukum yang akan bersidang di pengadilan, sampai menjadi putusan hukum tetap, baik itu pembebasan maupun hukuman, kita semua menghormatinya,” tutupnya.
Dugaan Politisasi Hukum
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menilai dua menteri Partai Nasdem yang terjerat kasus korupsi di pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan adanya politisasi undang-undang.
Dia menjelaskan, cukup banyak mantan menteri dari berbagai era pemerintahan yang akhirnya tersangkut kasus korupsi. Namun, menteri-menteri yang cenderung berbeda dengan elite kekuasaan seringkali menjadi sasaran pertama.
“Kita bisa bayangkan, kalau Nasdem tidak mendukung Anies, apakah Syahrul benar-benar akan dituduh? Apakah benar Johnny G Plate akan dicurigai? Saya kira TIDAK. Mungkin penantiannya agak lama, tapi karena bertentangan dengan selera, intensitas arah kekuasaannya agak dipercepat. Mungkin itu yang bisa kami sampaikan, mazhabnya ini adalah politisasi hukum. “Tapi KPK selalu ada drama juga, ada lagu lama yang bilang ini murni penegakan hukum,” kata Pangi.
“Saya kira hanya masalah waktu saja, kecuali menteri yang bersih dan berintegritas tinggi, tidak neko-neko. Rata-rata jumlah menteri di era Jokowi terlalu banyak, tapi menurut saya tidak adil “Juga banyak menteri yang arahannya tidak sesuai selera kekuasaan, justru yang dipukul atau disingkirkan terlebih dahulu,” imbuhnya.
Apakah kasus hukum ini mempengaruhi elektabilitas Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang diusung Partai Nasdem pada Pilpres 2024 mendatang? Pangi meyakini hal ini bisa saja terkena dampaknya. Namun, ia menilai agenda pemberantasan korupsi tidak terlalu penting bagi masyarakat dalam memilih pemimpin saat ini.
“Tapi di Indonesia, agenda pemberantasan korupsi tidak penting. Tersangka atau tidak, tapi saya belum tahu apakah fenomena tersebut akan bergeser atau tidak. Benarkah pemilih kita, masyarakat kita, mendambakan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan jujur? “Kalau misalnya ada keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang berintegritas, jujur, dan bersih, tentu itu akan mempengaruhi elektabilitas,” tutupnya. [gi/ab]