Para ahli menilai pemerintah Indonesia cukup konsisten dan tegas menolak klaim teritorial Tiongkok di Laut Cina Selatan, meski Indonesia memiliki hubungan ekonomi dan investasi yang erat dengan Tiongkok.
Pengamat hukum internasional Profesor Hikmahanto Juwana menjelaskan, ketika ada kepentingan, China – seperti Amerika Serikat (AS) dan negara besar lainnya – kerap menggunakan instrumen keuangan dan ekonomi. Misalnya saja dengan instrumen utang.
Karena pada prinsipnya, kata Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Cimahi, Jawa Barat, semakin ketergantungan suatu negara secara ekonomi terhadap negara lain, maka semakin rentan negara tersebut terhadap intervensi.
“Pemerintah Indonesia dalam posisi tidak mengakui 9 atau sekarang 10 garis putus-putus tersebut, namun kita juga mengambil inisiatif agar perang terbuka tidak terjadi. Nah, pemerintah Indonesia juga memahami bahwa kita juga sangat bergantung pada Tiongkok, apalagi dari segi ekonomi,” kata Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang akrab disapa Profesor Hik.
Hikmahanto memaparkan hal tersebut dalam tema “Peta Baru Tiongkok dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9).
Sekadar mengingatkan, pada akhir Agustus lalu, China merilis peta standar baru tahun 2023 yang memperluas klaim teritorialnya di Laut China Selatan menjadi 10 garis putus-putus dari sebelumnya sembilan garis putus-putus. Peta baru ini membuat marah Malaysia, Filipina, Brunei dan Vietnam. Taiwan juga mencemooh peta baru Tiongkok karena peta tersebut mencakup bagian selatan pulau yang diperintah secara demokratis.
Sementara Indonesia, meski tidak menghadapi tumpang tindih klaim kedaulatan seperti lima negara di atas, namun sepuluh garis putus-putus Tiongkok tetap memotong hak kedaulatan Indonesia di zona ekonomi eksklusif (ZEE) yakni di perairan Natuna Utara. Hal ini kerap memicu ketegangan kedua negara karena kapal ikan Tiongkok kerap memasuki perairan Natuna Utara
Konsistensi dalam tiga hal
Hikmahanto menilai konsistensi sikap Pemerintah Indonesia terhadap klaim Laut Cina Selatan dapat dilihat dari tiga hal.
Pertama, penegakan hukum terhadap nelayan Tiongkok yang masuk ke ZEE Indonesia untuk mengambil sumber daya laut. Kedua, tetap mengabaikan protes Tiongkok atas upaya Indonesia yang mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah ZEE.
Terakhir, pemerintah Indonesia tidak pernah memulai perundingan mengenai bidang-bidang yang tumpang tindih.
Lebih lanjut, Hikmahanto memuji ketegasan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi klaim Tiongkok di kawasan Laut Cina Selatan, meski secara ekonomi Indonesia bergantung pada Tiongkok.
“Tidak menjadi masalah jika banyak investor Tiongkok datang ke Indonesia. Kita punya utang ke Tiongkok, tapi kalau soal kedaulatan atau hak berdaulat, kita harus tegas. Iya semua negara sahabat kita sampai kapan? Hingga kepentingan kita terganggu. “Kita harus tegas,” kata Hikmahanto.
Merujuk data Kementerian Penanaman Modal/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China menempati peringkat kedua dalam realisasi penanaman modal asing pada semester I 2023 sebesar 3,8 miliar dolar AS.
Data Bank Indonesia menunjukkan Tiongkok berada di peringkat keempat negara pemberi Utang luar negeri Indonesia terbesar setelah Singapura, Amerika Serikat (AS), dan Jepang, pada paruh pertama tahun 2023 dan setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Johanes Herlijanto, pendiri dan Ketua Sinology Forum, memperkirakan pemerintahan baru hasil pemilu 2024 masih sangat terbuka terhadap investasi dan hubungan ekonomi dengan China.
Apalagi, kedekatan ekonomi kedua negara sudah terjalin sejak lama sejak Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia, pada tahun 1999 mencairkan hubungan diplomatik yang sempat membeku pada masa Orde Baru.
“(Indonesia-China) akan tetap memiliki hubungan ekonomi yang baik, selama China tidak bersikap berlebihan terhadap kami,” kata Herlijanto.
Menjadi lebih agresif
Terkait peta baru China, Hikmahanto mengingatkan pemerintah untuk tetap konsisten menjaga kehadiran fisiknya di ZEE Indonesia di perairan Natuna. Pasalnya, menurut Hikmahanto, keluarnya peta baru tersebut menunjukkan bahwa China semakin agresif dengan klaimnya di kawasan Laut China Selatan.
“Dalam konteks hukum internasional, kalau kita mengklaim wilayah, tidak cukup hanya ada di peta, tapi harus nyata, harus ada di sana. Kalau kita hanya mengklaimnya di peta, tapi tidak tidak muncul berarti tidak mau melanjutkan klaim,” kata Hikmahanto.
Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia bisa memberikan bantuan agar nelayan di perairan Natuna bisa membeli kapal berukuran besar untuk berlayar ke tengah laut ZEE. Selain mengeksploitasi sumber daya laut di ZEE, kehadiran nelayan Indonesia juga menjadi bukti kehadiran fisik Indonesia di kawasan tersebut.
“Nelayan Natuna tidak bisa ke sana karena perahunya kecil dan takut kehabisan BBM (bahan bakar minyak). Jadi, harus ada tindakan pemerintah untuk mensubsidinya,” ujarnya.
Senada dengan Hikmahanto, Herlijanto mengingatkan Indonesia untuk mewaspadai peta baru China karena berpotensi memberikan legitimasi bagi negara tirai bambu untuk melakukan aktivitas lebih lanjut.
“(China) pasti akan membuat peta, bukan sekedar peta, tapi diikuti dengan aktivitas. Kita masih perlu melawan. “Dalam hal ini, suara masyarakat yang menyatakan bahwa kita mewaspadai tindakan Tiongkok yang juga mengganggu wilayah Indonesia perlu disampaikan,” kata dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan itu.
Perang terbuka?
Meski tetap harus mewaspadai ledakan yang berpotensi memicu perang antar negara di kawasan, Hikmahanto berpendapat China tidak akan mulai menggunakan kekuatan militernya. Sebab, Tiongkok juga secara ekonomi bergantung pada negara-negara yang bersengketa di kawasan untuk menjadi pasar produk ekspornya.
“Kita tidak tahu siapa yang memprakarsainya, tapi yang pasti bukan China. China bisa menjadi negara besar secara ekonomi seperti sekarang karena menjual barang-barang, mulai dari laptop, sikat gigi, hingga teknologi tinggi,” kata Hikmahanto.
Inisiatif investasi infrastruktur Belt & Road Initiative (BRI), kata Hikmahanto, merupakan salah satu strategi untuk memastikan negara penerima BRI menggunakan produk atau teknologi Tiongkok.
Berdasarkan data Pembiayaan & Pembangunan Ramah LingkunganSelain Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam termasuk negara peserta BRI.
Indonesia sendiri baru saja meresmikan pengoperasian kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh yang sebagian besar didanai pinjaman Tiongkok.
“Dunia butuh China dan China butuh dunia. Jadi, keduanya sebenarnya saling membutuhkan, jadi meski terkesan keras, saya kira tidak akan ada inisiatif dari China untuk menggunakan kekuatan militernya kecuali dalam konteks pertahanan, ” dia berkata. . [ft/rs]