Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti permasalahan penyelesaian hak korban Kanjuruhan belum juga terselesaikan meski sudah setahun berlalu. Lembaga menilai penyelesaian tragedi yang menewaskan 135 orang dan melukai lebih dari 500 orang pada 1 Oktober 2022 belum memberikan keadilan bagi para korban dan belum menyentuh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas terlaksananya pertandingan tersebut.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah juga menyatakan masih banyak fakta yang belum diungkap pihak berwenang, misalnya kejadian di Gerbang 13 Kanjuruhan. Berdasarkan temuan Komnas HAM, petugas diduga menembakkan gas air mata ke stand 13, dan amunisi gas air mata tersebut terjatuh di sisi ujung tangga 13. Akibatnya, asap masuk ke dalam tangga dan keluar melalui pintu 13.
“Hal ini menimbulkan kepanikan di kalangan penonton, menyebabkan mereka bergegas keluar stadion dengan mata perih, kulit panas, dan dada sesak. Kepanikan ini menyebabkan terjadinya tabrakan beruntun di gerbang 13 yang mengakibatkan banyak penonton tertindih, terjatuh, dan terinjak. “Di depan pintu ini banyak penonton yang terjatuh, pingsan, bahkan meninggal dunia,” kata Anis, Jumat (6/10).
Lebih lanjut, Anis juga menyoroti belum lengkapnya kelengkapan berkas tersangka mantan Direktur PT LIB Ahmad Hadian Lukita. Belum rampungnya berkas perkara karena adanya perbedaan pendapat antara kejaksaan dan kepolisian terkait pemenuhan unsur pasal yang didakwakan terhadap tersangka.
Selain itu, Komnas HAM menemukan permasalahan yang belum terselesaikan dalam pemulihan korban tragedi Kanjuruhan.
“Putusan pengadilan antara lain tidak mengatur atau menegaskan tanggung jawab pelaku dalam restitusi/rehabilitasi korban; layanan dan bantuan pemulihan korban tidak merata dan cenderung tidak tepat sasaran, termasuk layanan pemulihan fisik, psikis, sosial, dan ekonomi; Mekanisme penerimaan dan penyaluran bantuan kepada korban masih bersifat sporadis, tidak terkonsolidasi, dan bergantung pada kelompok, organisasi, atau lembaga tertentu, kata Anis.
Hal ini, kata Anis, disebabkan belum adanya data korban yang terkonsolidasi dan terintegrasi, antara lain data jumlah korban, tipologi kerugian korban, serta layanan atau bantuan yang dibutuhkan dan diterima masing-masing korban.
Selain itu, Komnas HAM menilai belum ada pihak yang bertanggung jawab mengoordinasikan pemulihan korban. Akibatnya, hingga saat ini belum ada mekanisme yang jelas dalam penerimaan dan penyaluran layanan kepada korban, komunikasi dan koordinasi antar lembaga dan organisasi, pemantauan penggunaan anggaran, dan akuntabilitas.
Tata Kelola Sepak Bola
Dalam kesempatan yang sama, Anis menyerukan reformasi tata kelola sepakbola nasional dengan mengedepankan prinsip hak asasi manusia dan tidak hanya berorientasi pada aspek bisnis. Dengan fokus pada isu HAM, kata dia, kejadian seperti tragedi Kanjuruhan bisa diantisipasi.
“Selama ini aspek HAM hampir dilupakan dalam sepak bola bahkan dianggap tidak penting hingga akhirnya kasus Kanjuruhan terjadi,” kata Anis.
Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGIPF) telah mengeluarkan sembilan rekomendasi terkait kasus ini. Rekomendasi tersebut antara lain PSSI yang dianggap mengabaikan aturan yang berujung pada Tragedi Kanjuruhan. Polri diminta menindaklanjuti pihak yang dianggap bertanggung jawab terkait pemberian izin dari kepolisian untuk liga Arema FC vs Persebaya, tindakan represif aparat harus diusut, suporter yang melakukan provokasi juga harus diusut dan Ketua PSSI dan seluruh anggota komite eksekutif PSSI saat itu diminta mengundurkan diri. .
Mantan anggota TGIPF yang juga koordinator Save Our Soccer, Akmal Marhali mengatakan, secara umum rekomendasi tersebut sudah dilaksanakan. Masalahnya, saat ini masyarakat masih menunggu proses hukum yang komprehensif.
“Sekarang yang dihukum hanya lima orang, tapi kasus ini tidak berhenti hanya lima orang. Apa tanggung jawab PSSI? LIP termasuk pendukungnya. Kejadian dosa kolektif, ini harus menjadi persoalan hukum.” kini dituntut oleh keluarga korban dan penyintas kasus Kanjuruhan,” kata Akmal.
Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan bersama sejumlah masyarakat sipil menyayangkan hukuman ringan yang diberikan kepada lima terdakwa yang rata-rata divonis kurang dari dua tahun. Keluarga korban ingin para terdakwa dihukum seberat-beratnya. [fw/ah]