Malaysia dan Singapura Keluhkan Hutan dan Asap Kehutanan Indonesia, Ini Tanggapan Jokowi

Presiden Joko Widodo mengklaim Indonesia bisa menangani permasalahan karhutla lebih baik dibandingkan beberapa tahun lalu. Ia juga menggarisbawahi, bencana karhutla tahun ini lebih banyak disebabkan oleh El-Nino atau musim kemarau panjang yang lebih panas dari biasanya, dan kejadian tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia.

“Tidak hanya di Indonesia yang terjadi kebakaran hutan, di Amerika, di Kanada dan di sini kita masih bisa mengendalikannya dengan baik. Bandingkan saja dengan tahun 2015, masih sangat jauh,” kata Jokowi, di Jakarta, Sabtu (7/10). .

Berbeda dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang membantah adanya kabut asap lintas batas (kabut lintas batas) hingga negara tetangga Singapura dan Malaysia, kata Jokowi, potensi tersebut pasti tetap ada. Oleh karena itu, dia menginstruksikan jajaran terkait untuk segera memadamkan seluruh api yang ada.

“Tapi dampak kebakarannya pasti menimbulkan asap, dan asapnya kalau terkena angin bisa kemana-mana. Yang penting saya sudah perintahkan Panglima TNI dan Kapolri serta pemerintah daerah untuk segera melakukan penanganan. Apinya, sekecil apapun harus segera ditangani agar tidak membesar,” imbuhnya.

Kebakaran hutan terlihat dari udara di Desa Muara Medak, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 29 Juli 2018. (Foto: Reuters)

Kebakaran hutan terlihat dari udara di Desa Muara Medak, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 29 Juli 2018. (Foto: Reuters)

Tidak melakukan pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan lahan

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik mengatakan, perbandingan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang disebutkan Jokowi antara tahun 2015 hingga 2023 hanya membandingkan bencana buruk dengan bencana yang lebih buruk. Artinya, kata Iqbal, belum ada perbaikan signifikan dalam upaya penanganan karhutla di Tanah Air.

Ia menjelaskan, pemerintah seharusnya sudah melakukan antisipasi terhadap masalah karhutla karena indikator karhutla merupakan sesuatu yang sangat mudah diprediksi. Ia menambahkan, setidaknya sepanjang 2019 hingga 2022, hampir 300 ribu hektare selalu terbakar setiap tahunnya.

Dapat diprediksiBukan hanya El-Nino, tapi lokasinya juga. Kita sudah tahu pasti lokasinya di Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, ini adalah lokasi-lokasi yang terbakar setiap tahunnya. Bahkan intinya sudah bisa ditebak, apa maksudnya berulang kali membakar area tersebut, kawasan yang terus terbakar berulang kali. Artinya, ada indikator yang benar-benar bisa menunjukkan di mana letak api dan seberapa besar apinya, kata Iqbal.

Meski bisa diprediksi dengan baik, peristiwa kahutla tetap saja terjadi setiap tahunnya. Hal ini, kata Iqba, disebabkan belum adanya ketegasan pemerintah terhadap perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di kawasan kesatuan hidrologi gambut (KHG) untuk bisa mengembalikan kawasan gambut yang rusak seperti semula.

“Jadi kalau ini terus terjadi, tentu akan terjadi berulang kali jika fungsi gambut tidak dikembalikan ke fungsi semula. Gambut itu model ekosistemnya, ekosistem basah, harus terendam, jadi begitu terendam kering itu akan mudah terbakar.” Jadi selama tidak kembali ke ekosistem aslinya, Indonesia akan terus seperti ini dan hampir setiap tahun akan terbakar dan bisa dibilang setiap tiga tahun atau empat tahun sekali kita akan mengirimkan asap ke Malaysia dan Singapura,” jelasnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pihak pemadam kebakaran seperti BNPB dan masyarakat lainnya, Iqbal menegaskan, pemerintah tidak boleh bertindak sebagai pemadam kebakaran, namun harus mampu mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Seorang tentara memeriksa kebakaran lahan gambut di dekat Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 28 Oktober 2015. (Foto: Antara via Reuters)

Seorang tentara memeriksa kebakaran lahan gambut di dekat Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 28 Oktober 2015. (Foto: Antara via Reuters)

“Pemerintah bisa bilang ke perusahaan, kapasitas gambut ini sudah tidak mencukupi lagi, jadi berhenti di sini saja, lakukan intensifikasi, jangan ekstensifikasi lahan, itu saja. bersihsungguh r. Bisakah pemerintah melakukan hal itu? Bisa sangat, karena pemerintah menentukan berapa banyak konsesi yang diberikan dan mana yang tidak. Lantas, tanpa mengeluarkan uang, cara apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah hal ini? “Ya, memaksa perusahaan menyusutkan areal konsesinya di kawasan yang akan merusak gambut,” imbuhnya.

Namun nyatanya, kata Iqbal, pemerintah masih memberikan HGU baru pada lahan gambut yang seharusnya sudah tidak bisa digarap.

“HGU di kawasan itu sudah disahkan, jadi kita sudah tahu rusak, sebagian KHG sudah dimiliki perusahaan HTI, kemudian di sana ada izin usaha perkebunan, dan masih ada ruang untuk pengurusan HGU tersebut. harusnya dihentikan, dan kita tahu produksi sawit kita saat ini justru lebih banyak diekspor. “Jadi ini berarti secara ekonomi kita harus bisa menahan ekstensifikasi lahan,” tutupnya. [gi/ah]

Tinggalkan Balasan