Perusahaan Multinasional Mengekspor Jutaan AC Tidak Efisien ke Asia Tenggara

CLASP, sebuah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang isu lingkungan hidup dan berpusat di Washington DC, Amerika Serikat (AS), menunjukkan dalam studinya bahwa lima dari enam pasar di Asia Tenggara yang diteliti sudah jenuh dengan AC atau AC (AC) tidak efisien. Studi tersebut menemukan bahwa terdapat 6,2 juta unit AC di enam pasar yang tergolong perangkat dengan efisiensi rendah pada tahun 2021.

Enam pasar tersebut adalah Indonesia (97 persen), Filipina (78 persen), sedangkan Vietnam, Malaysia, dan Thailand sekitar 60 persen tidak efisien, diikuti oleh Singapura (21 persen).

Selain itu, Program Manager CLASP Asia Tenggara Nanik Rahmawati mengatakan, AC yang dijual ke Asia Tenggara tidak memenuhi Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) di negara eksportir. Namun karena SKEM negara pengimpor lebih rendah, maka produk tersebut dapat diperdagangkan. Untuk itu, Nanik mendorong pemerintah untuk meningkatkan kualitas SKEM di Indonesia sesuai dengan ketentuan target harmonisasi ASEAN 2025 agar lebih ramah lingkungan.

Unit AC eksternal terlihat di teras, di Roma, Selasa 25 Juli 2023. (Foto: AP)

Unit AC eksternal terlihat di teras, di Roma, Selasa 25 Juli 2023. (Foto: AP)

“Kami mendorong pemerintah untuk meningkatkan nilai SKEM, aturan yang ditetapkan di dalam negeri untuk melindungi pasar dalam negeri itu sendiri. Jadi barang yang tidak memenuhi SKEM tidak akan bisa beredar di Indonesia,” kata Nanik kepada KILAT NUSANTARA di Jakarta, Selasa ( 10/10 ).

Laporan ini menunjukkan negara eksportir AC yang tidak mematuhi SKEM di negara asalnya didominasi oleh China, Korea Selatan, dan Jepang. Kondisi ini dapat berdampak pada pemborosan energi di Asia Tenggara yang sebagian besar masih dihasilkan dari bahan bakar fosil sehingga dapat berkontribusi terhadap emisi karbon.

Laporan tersebut juga memperkirakan pengurangan emisi kumulatif selama 25 tahun sebesar lebih dari 1 miliar metrik ton karbon dioksida jika enam negara di Asia Tenggara tidak menggunakan AC yang tidak efisien. Atau kawasan ini dapat menghemat $148 juta secara kumulatif bagi konsumen.

“Namun jika kita mendorong efisiensi yang tinggi, dengan iklim yang semakin panas, masyarakat akan tetap menjadikan AC sebagai kebutuhan utama mereka,” tambahnya.

Nanik mengatakan, hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dan produsen adalah menggalakkan AC hemat energi kepada masyarakat. Menurutnya, saat ini sudah terdapat Label Hemat Energi (LTHE) pada produk AC, semakin banyak bintang pada AC maka semakin besar energi yang dihemat dari produk tersebut.

Di Indonesia, mayoritas AC (87 persen) masih masuk kategori bintang 4 sehingga perlu ditingkatkan menjadi bintang 5 agar bisa setara dengan label hemat energi di luar negeri.

Deni Jatmika, perwakilan Gabungan Perusahaan Industri Elektronika dan Peralatan Listrik Rumah Tangga Indonesia (GABEL), mengaku tidak keberatan jika pemerintah kemudian menaikkan SKEM atau LTHE di Indonesia. Namun, ia menilai perlu ada dukungan dari pemerintah sebelum kebijakan tersebut dikeluarkan agar produsen di dalam negeri bisa bersaing. Selain itu, menurutnya, pemerintah perlu mengedukasi konsumen agar mau menggunakan AC yang lebih hemat energi.

“Dukungan penuh, misalnya subsidi penjualan, misalnya konsumen membeli AC lebih hemat energi dengan biaya lebih murah,” kata Deni kepada KILAT NUSANTARA.

Sejumlah unit AC di New York.  Senat AS pada 21 September 2022. (Foto: AP)

Sejumlah unit AC di New York. Senat AS pada 21 September 2022. (Foto: AP)

Deni mengatakan produk AC asal China harganya sekitar 30 persen lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Apalagi, kata dia, China juga memberikan diskon pajak sekitar 13 persen. Oleh karena itu, Deni meminta pemerintah juga memikirkan hal tersebut sebelum mengambil kebijakan.

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sri Wahyuni ​​​​meminta pemerintah melibatkan konsumen dalam pembahasan SKEM yang lebih ramah lingkungan. Menurut dia, selama ini pembahasan regulasi hanya melibatkan unsur pemerintah dan produsen. Faktanya, pemahaman konsumen yang baik terhadap suatu hal juga turut mempengaruhi berhasil tidaknya penghematan energi dan kelestarian alam.

“Konsumen juga perlu menampung masukannya. Apalagi literasi konsumen mengenai LTHE masih rendah, mereka belum mengetahui tentang SKEM,” kata Yuni.

Yuni menambahkan, keterlibatan konsumen juga penting agar produk yang dihasilkan tidak merugikan konsumen. [sm/ah]

Tinggalkan Balasan