Pendeta Yoanes Kristianus dari Gereja Impact Community Indonesia tidak pernah menyangka bahwa ziarah keagamaan yang dilakukannya kali ini memiliki makna yang begitu dalam dan seakan semakin menguatkan keyakinannya akan kekuatan doa. Ia telah memimpin beberapa ziarah keagamaan ke Mesir, Israel dan Yordania, yang memakan waktu antara 10-12 hari.
Namun baru kali ini ia membawa jemaah yang jumlahnya sangat banyak dan tak disangka di tengah kebaktian yang digelar di Yerusalem, ia dan jemaahnya menjadi saksi langsung penyerangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu.
“Saat kami menunaikan ibadah haji di pagi hari, saya diberitahu oleh memandu (pengandu.ed)… Pak Jojo, begitulah dia memanggil saya, ada situasi tidak aman di Israel bagian selatan, dekat Gaza, Ashkelon, Ashdod, ada rudal. Tapi yang lainnya selamat,” kata Pendeta Yoanes membuka wawancara dengan KILAT NUSANTARA, Kamis (12/10) dini hari waktu Washington, DC.
“Kami berangkat jam 7.30 pagi waktu Israel untuk ziarah ke tempat suci, tapi peserta tidak tahu kalau ada roket di selatan, jadi semua kegiatan masih sesuai itinerary. Eh, sekitar jam 9 pagi saat kami berada di Di Makam Daud, kami mendengar sirene yang sangat keras. Pemandu kami langsung meminta kami bersembunyi di gua, atau menempel di dinding. ‘Ayo cepat, berbahaya,’ katanya. “Ada banyak rudal, dan di sana ada suara “boom” yang menandakan rudal berhasil dihalau oleh Iron Dome Israel,” jelasnya.
Penyerangan ini terjadi beberapa kali, termasuk ketika lima bus yang membawa 231 anggota Gereja Komunitas Dampak Indonesia perlahan menjauh dari tempat suci di Yerusalem. Setelah mengetahui perintah pemerintah Israel yang meminta semua orang berlindung dan bersembunyi di bunker, jemaah memutuskan untuk kembali ke hotel. Di KILAT NUSANTARA, Pendeta Yoanes memperlihatkan cuplikan video yang diambilnya dengan ponsel saat jemaah bersembunyi di bunker baja dan beton sambil terus berdoa bersama.
Ziarah keagamaan terus berlanjut
Keesokan harinya, Minggu (8/10), Yoanes mengatakan suasana sudah tenang sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan ibadah haji sesuai jadwal. Lima bus meninggalkan Yerusalem dan menuju ke Tel Aviv, lalu ke Haifa – kota terbesar ketiga di Israel – hingga ke Tiberias.
“Di sana sebenarnya aman, sama sekali tidak ada rudal, sehingga semua kegiatan ibadah bisa kita laksanakan sesuai itinerary pada hari Minggu, Senin, dan Selasa. Baru pada hari Selasa (10/11) kami berusaha menyeberang ke Yordania setelahnya. Israel secara terang-terangan menyatakan negaranya sedang dalam keadaan perang.”Saat itu perbatasan cukup ramai karena yang mau menyeberang tidak hanya rombongan dari Indonesia, tapi juga dari Belanda, Eropa, dan negara-negara Asia lainnya,” kata Yoanes. .
Terdapat tiga gerbang perbatasan antara Israel-Yordania, yaitu: Terminal Yitzak Rabin/Perbatasan Wadi Araba, Jembatan Raja Hussein atau Terminal Allenby dan Sungai Yordan/Perbatasan Sheikh Hussein. Namun saat itu, menurut Yoanes, pintu perbatasan yang dibuka hanya satu.
“Dua penyeberangan perbatasan – Wadi Araba dan Allenby – ditutup. Jadi kami, dan banyak kelompok dari negara lain, semua menuju ke gerbang perbatasan Sheikh Hussein, satu-satunya gerbang yang terbuka bagi kami untuk meninggalkan Israel. “Semuanya baik-baik saja, aman terkendali sampai kami tiba di Yordania,” tambahnya.
Duta Besar RI untuk Yordania Ade Padmo Sarwono kepada KILAT NUSANTARA, Selasa (10/10), membenarkan kedatangan rombongan jemaah yang dipimpin Pendeta Yoanes melalui wilayah utara.
“Alhamdulillah, 230 WNI kita yang sebelumnya melakukan ziarah keagamaan ke Yerusalem dan Laut Galilea di kota Tiberias telah tiba di Yordania malam ini. Mereka sudah berada di perbatasan tepi barat Israel-Yordania sejak pagi, namun harus menunggu empat hingga lima jam untuk menyeberang. “Sekarang semuanya sudah sampai di Yordania,” kata Ade.
Kekuatan doa
Saat diwawancarai melalui panggilan video pada hari Kamis, Pendeta Yoanes tampil sangat tenang dan pandai bicara, namun nadanya berubah ketika ia menceritakan bagaimana jemaatnya, yang sebagian besar adalah perempuan, khawatir melihat dan mendengar serangan rudal, baik dari Hamas maupun serangan balasan dari Israel.
“Ada begitu banyak keluarga dan teman di negara ini yang meminta untuk segera keluar. Kami tidak mencoba tetapi semua hotel di Yordania penuh. Jadi saya bilang ke jemaah, tenang, mari kita berdoa. “Saya sudah berulang kali mengatakan bahwa Tuhan pasti akan melindungi kita dan Tuhan pasti akan membuka jalan jika sudah waktunya kita meninggalkan Israel,” kata Pendeta Yoanes dengan suara tertahan.
Perasaan lega dan gembira tak terlukiskan saat rombongan akhirnya tiba di Kota Irbid, Yordania, setelah melintasi perbatasan melalui Jembatan Syekh Hussein. Menurut Yoanes, hal pertama yang membuatnya tetap tenang selama menunaikan ibadah haji dan upaya melintasi perbatasan adalah doa.
“Setiap kali keraguan, kekhawatiran dan sebagainya muncul, kami berdoa. Kami berusaha menghibur mereka yang juga ketakutan dengan nyanyian dan doa. “Hal-hal yang positif dan mulia, begitu menenangkan,” ujarnya.
Faktor kedua yang juga menenangkan, tambah Yoanes, adalah keyakinan bahwa pemerintah Indonesia akan terus memantau dan melindungi mereka.
“Saya bersyukur sekali menjadi warga negara Indonesia karena kami terus diawasi. Begitu sampai di Yordania, kami dipanggil oleh Atase Pertahanan dan KBRI Amman, apakah mereka sudah keluar, selamat semuanya, apakah ada yang jatuh sakit? Jadi kami selalu dalam pengawasan pemerintah. Saya sangat bangga dan salut menjadi warga negara Indonesia karena pemerintah sangat peduli terhadap kami, tanpa memandang agama, ras, dan suku. Tapi sayangilah kami sebagai masyarakat Indonesia yang terus diawasi dan dirawat.”
Ziarah Keagamaan
Ziarah keagamaan adalah perjalanan mengunjungi Tanah Perjanjian dan ziarah ke berbagai tempat suci yang tertulis dalam Alkitab. Perjalanan biasanya dilakukan pada bulan Oktober dan November, saat udara paling nyaman bagi masyarakat Indonesia yang terbiasa tinggal di daerah tropis. Peserta dapat memilih perjalanan dimulai dari Mesir, kemudian ke Israel dan Yordania. Atau sebaliknya, dari Yordania, lalu ke Israel dan Mesir.
Pengelola ziarah keagamaan akan menyediakan rencana perjalanan atau jadwal yang biasanya mengikuti peristiwa yang tertulis di Alkitab, dan destinasi terbaik lainnya di ketiga negara tersebut, seperti Gunung Nebo yang bisa membuat jemaah memandang ke arah Tanah Perjanjian yang indah, atau melihat dari dekat keajaiban dunia yang terkenal, Piramida dan Menara. Sphinx, mengarungi Sungai Nil dan Laut Galilea. Wisata ziarah keagamaan ini memakan waktu antara 10-12 hari.
Doa untuk Perdamaian
Sebelum berangkat ke tanah air Kamis malam, Pendeta Yoanes mengajak jemaat Gereja Impact Community Indonesia untuk berdoa bagi perdamaian di wilayah tersebut.
“Saya dan seluruh peserta berdoa agar Israel dan Hamas sama-sama bertindak bijak dan bersedia melakukan gencatan senjata agar konflik ini tidak semakin meluas dan menyebabkan negara lain ikut bergabung sehingga berpotensi menimbulkan pertumpahan darah dan menambah jumlah korban jiwa. mari kita berdoa bersama, seluruh bangsa merendahkan diri, Tuhan pasti menolong, Tuhan pasti mencegah dan Tuhan pasti menggerakkan mereka semua untuk melakukan gencatan senjata. Kita tidak boleh terprovokasi, khususnya masyarakat yang berada di Indonesia, marilah kita tidak menjadi emosional dan anarkis. Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Presiden kita untuk menyerukan gencatan senjata dan perdamaian.”
Sebanyak 231 anggota jemaat Gereja Komunitas Dampak Indonesia meninggalkan Amman, Yordania, untuk kembali ke tanah air dengan tiga penerbangan, antara pukul enam sore hingga dua belas malam. Diperkirakan pesawat yang membawa mereka tiba di Jakarta pada Jumat (13/10).
Hingga laporan ini disampaikan, masih terdapat 54 jemaah ziarah keagamaan dari rombongan lain yang berada di Israel dan berupaya menyeberang ke Yordania atau Mesir, mengingat situasi lebih kondusif. [em/rs]