Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Raja Yordania Abdullah, Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sissi dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang rencananya digelar di Yordania, diduga batal menyusul serangan maut Israel. di sebuah rumah sakit di Gaza pada Selasa (17/10) sore.
Presiden Abbas segera kembali ke tanah air tak lama setelah kabar ledakan yang menewaskan ratusan orang itu muncul.
Presiden Biden sendiri tiba di Tel Aviv, Israel, Rabu (18/10), untuk memulai kunjungan ke Timur Tengah.
Biden dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk membahas perang Hamas-Israel yang sejauh ini telah menewaskan ribuan orang di kedua belah pihak. Awalnya, Biden juga berencana terbang ke Yordania untuk bertemu dengan para pemimpin Yordania, Mesir, dan Palestina.
Selain Biden, para menteri luar negeri Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga akan menggelar sidang darurat di kota Jeddah, Arab Saudi, untuk membahas tema serupa. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dijadwalkan hadir.
Dukungan dari Negara-negara Timur Tengah
Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Bagus Hendraning Kobarsyih kepada KILAT NUSANTARA, Selasa (17/10), menilai kunjungan Biden bisa menjadi upaya menerobos kebuntuan konflik bersenjata Hamas-Israel. Namun upaya ini diharapkan mendapat dukungan dari para pemimpin negara-negara Timur Tengah.
“Kita lihat dulu respon Mesir dan Yordania khususnya, dua negara yang sangat berpengaruh ini dalam mencari opsi penyelesaian kondisi saat ini di Gaza dan Palestina,” kata Bagus.
Sementara itu, posisi Palestina sangat jelas yakni menginginkan adanya perundingan damai mengenai solusi dua negara, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negara tersebut. Jika hal ini bisa dijembatani maka konflik akan cepat berkurang, katanya.
Sementara terkait pertemuan para menteri luar negeri OKI, Bagus berharap sidang darurat OKI dihadiri seluruh negara anggota dan menghasilkan solusi nyata.
Ia belum bisa memastikan apa yang akan disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada pertemuan OKI. Namun, ia menilai hal tersebut tidak jauh dari sikap Indonesia yang selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Akses bantuan kemanusiaan
Diwawancarai terpisah, Pengamat Hubungan Internasional Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto mengatakan, posisi AS sudah jelas dan kemungkinan besar tidak akan berubah, yakni tidak mengakui Hamas dan hanya mengakui Otoritas Palestina. Namun dalam konflik berdarah tersebut terdapat permasalahan kemanusiaan di Gaza, dimana perlu adanya upaya untuk meminimalisir dampak yang akan terjadi jika Israel melancarkan serangan darat ke Gaza. SAYA
Nanto berharap kunjungan Biden ke Israel dapat mendorong terbukanya akses kemanusiaan ke Gaza.
“Harus kita akui bahwa serangan balik (Israel), dalam bahasa pembelaan diri Amerika, memakan korban secara acak. Jelas bukan kombatan, bukan pejuang dari pihak di Gaza. Artinya, serangan darat dalam banyak pandangan memperkirakan jumlah korban jiwa. Korban sipil (akan banyak), kebanyakan warga Gaza,” kata Nanto.
Nanto juga berharap Biden berhasil mendesak Israel membatalkan rencana melakukan serangan darat ke Gaza.
Permasalahan di Gaza harus mendapat perhatian dari negara sekitar, terutama Yordania dan Mesir yang berbatasan dengan Jalur Gaza, tambah Nanto. Sejauh ini, Mesir menolak membuka perbatasan Rafah karena alasan keamanan, sementara antrian truk pengangkut bantuan kemanusiaan dilaporkan mencapai dua mil.
Dalam konteks diplomasi untuk mengakhiri perang ini, Hamas juga harus dilibatkan, tambah Nanto.
Padahal harus diakui ada pergulatan internal untuk mendapatkan legitimasi antara Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat, tambahnya.
Hingga laporan ini disusun, korban jiwa di kedua belah pihak terus berjatuhan. Lebih dari 1.400 orang di Israel tewas akibat serangan rudal Hamas sejak 7 Oktober. Sementara Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan sedikitnya 3.000 orang tewas akibat serangan udara Israel di Gaza, sebagian besar korban tewas adalah anak-anak. . [fw/em]