Nilai investasi Tiongkok di Indonesia terus meningkat hingga mencapai $8,22 miliar pada tahun 2022 dari $4,74 miliar pada tahun 2019. Besaran realisasi investasi Beijing sendiri pada paruh pertama tahun 2023 sebesar $3,8 miliar. Besarnya investasi ini menjadikan Tiongkok sebagai negara kedua terbesar yang berinvestasi di negaranya, setelah Singapura.
Duta Besar RI untuk Tiongkok Djauhari Oratmangun mengatakan, Kamis (26/10), selain peningkatan investasi, volume perdagangan Indonesia dengan Tiongkok juga meroket dari $79,76 miliar pada tahun 2019 menjadi $149,17 miliar pada tahun 2022. Sedangkan realisasi Januari-Agustus 2023 sebesar $92,2 miliar. Begitu pula dengan nilai ekspor yang terus meningkat hingga $77,87 miliar pada tahun 2022 dari $34,11 miliar pada tahun 2019, dan $48,07 miliar pada Januari-Juni 2023.
Menurut Djauhari, peningkatan kerja sama di bidang perekonomian merupakan hasil dari Kemitraan Strategis Komprehensif kedua negara yang dimulai pada 2 Oktober 2013. Indonesia sendiri telah menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok selama 73 tahun sejak 13 April 1950.
“Hubungan jangka panjang ini dapat mendorong perekonomian Indonesia menjadi lebih baik,” ujarnya.
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa salah satu bentuk kemitraan strategis antara Indonesia dan Tiongkok adalah kerja sama dalam Belt and Road Initiative (Inisiatif Sabuk dan Jalan/BRI). Inisiatif ini sendiri merupakan salah satu kebijakan luar negeri dan ekonomi Tiongkok untuk memperkuat pengaruh negara tersebut.
Potensi kerja sama BRI untuk Indonesia akan difokuskan pada manufaktur teknologi baru seperti baterai, infrastruktur, teknologi informasi, pertambangan, dan proyek-proyek strategis.
Selain proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Presiden RI juga mengajak sinergi kerja sama antara BRI dan GMF (Poros Maritim Dunia), serta proyek lainnya seperti pembangunan Ibu Kota Negara, transisi energi terbarukan, dan hilirisasi industri,” ujarnya.
Menurut Djauhari, Presiden Tiongkok Xi Jinping telah menyampaikan komitmen pendanaan untuk BRI dan GMF sebesar $47,8 miliar. Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah pendekatan untuk memastikan kerja sama yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Hal ini mencakup standar lingkungan yang tinggi, pembangunan terpadu, penyerapan energi lokal, dan transfer teknologi.
BRI sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Xi saat kunjungannya ke Kazakhstan dan Indonesia pada bulan September dan Oktober 2013. BRI telah mengembangkan kerja sama dengan lebih dari 150 negara dan 30 organisasi internasional, sehingga menghasilkan investasi senilai $1 triliun.
Tantangan Transfer Teknologi
Koordinator Program Studi Indonesia ISEAS Yusof Ishak Institute, Siwage Dharma Negara mengatakan, kemampuan teknologi China masih berada di bawah sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Hal ini terlihat dari Global Competitiveness Report Edisi Khusus 2020 yang diterbitkan oleh World Economic Forum.
Meski demikian, Siwage juga menjelaskan sejumlah teknologi Tiongkok lebih unggul dibandingkan negara lain, antara lain teknologi energi dan pengembangan material.
“Kerja sama dengan Tiongkok merupakan sebuah potensi, kita bisa belajar dari Tiongkok tentang teknologi tertentu dan kita bisa beradaptasi, belajar menguasai teknologi tersebut,” jelas Siwage.
Siwage menambahkan belanja penelitian Tiongkok di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sekitar 2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Persentase ini masih rendah dibandingkan negara lain seperti Korea Selatan (5 persen), Amerika (3 persen), dan Jepang (3 persen). Namun, kata Siwage, belanja penelitian Tiongkok mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Siwage juga menyoroti sejumlah tantangan yang menjadi kendala dalam transfer teknologi. Misalnya saja pada proyek kereta cepat Jakarta Bandung, masih terdapat permasalahan pekerja lokal yang menguasai bahasa Mandarin. Selain itu, perjanjian transfer teknologi di tingkat atas belum tentu diproses di tingkat bawah.
“Posisi Indonesia anggaran riset kita masih di bawah 1 persen PDB. Jadi perlu investasi yang besar agar bisa mengejar ketertinggalan kita di bidang riset dan teknologi,” imbuhnya.
Wage berpesan kepada pemerintah untuk mengevaluasi proses transfer teknologi dalam kerja sama Indonesia dengan negara lain yang sedang berjalan untuk menjadi bahan perbaikan di masa depan. [sm/ah]