Seruan Boikot Produk Pro-Israel, Efektifkah?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Jumat (10/11) lalu mengeluarkan fatwa terbaru Nomor 83 Tahun 2023 tentang Undang-Undang Dukungan Perjuangan Palestina.

Ketua Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh mengatakan mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina melawan agresi Israel hukumnya wajib. Di sisi lain, mendukung agresi Israel adalah haram.

“Upaya mendukung agresi Israel atau membantu orang yang mendukung agresi Israel terhadap Palestina adalah haram. Oleh karena itu, MUI menganjurkan kepada umat Islam untuk sebisa mungkin menghindari muamalah, seperti transaksi jual beli dengan pelaku usaha yang jelas-jelas memberikan dukungan terhadap agresi Israel dan aktivitas Zionis, kata Asrorun.

Komisi Fatwa ini juga merekomendasikan umat Islam di Indonesia untuk menghindari transaksi produk-produk yang mendukung agresi Israel di Palestina atau yang berafiliasi dengan Israel. Namun MUI tidak merinci nama produk yang dimaksud.

Menurut Niam, dukungan terhadap Palestina bisa berupa penyaluran zakat, infak atau sedekah untuk kepentingan perjuangan rakyat Palestina.

Pengunjung menikmati kopi di kafe Starbucks di Jakarta, 4 Juli 2017. (Foto: Adek Berry/AFP)

Pengunjung menikmati kopi di kafe Starbucks di Jakarta, 4 Juli 2017. (Foto: Adek Berry/AFP)

Pada dasarnya, kata Niam, dana zakat harus disalurkan kepada mustahik (orang penerima zakat) yang ada di sekitar muzakiki (orang yang memberi zakat). Namun, dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak, dana zakat boleh disalurkan ke mustahik mereka yang berada di tempat yang lebih jauh, seperti untuk perjuangan Palestina.

Komisi Fatwa MUI juga mendukung perjuangan Palestina dengan menggalang dana kemanusiaan, mendoakan dan melakukan doa gaib bagi para syuhada Palestina.

Melalui fatwa tersebut, MUI merekomendasikan agar pemerintah mengambil langkah tegas dalam membantu perjuangan Palestina. Baik dalam bentuk diplomasi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), untuk bersama-sama menekan Israel agar menghentikan agresinya. PBB, tambahnya, juga harus didorong untuk menjatuhkan sanksi terhadap Israel.

Respon warga beragam

Seruan boikot MUI direspon masyarakat dengan berbagai cara.

Fadillah, ibu dua anak asal kawasan Bekasi, Jawa Barat ini tampak serius memandangi ponselnya sambil memegang produk yang ingin dibelinya di salah satu supermarket di kawasan itu. Ternyata perempuan berusia 50 tahun ini sedang melihat daftar nama produk yang patut diboikot yang didapatnya dari media sosial.

Dia mengatakan dia tidak punya niat membeli produk Israel atau produk yang mendukung Israel.

“Saya tidak mau lagi, uang kami akan digunakan untuk melawan rakyat Gaza,” ujarnya.

Seorang karyawan Unilever Indonesia sedang menata produk kecantikan di supermarket, 31 Oktober 2016. Majelis Ulama Indonesia pada 10 November 2023 mengeluarkan fatwa boikot produk Israel atau perusahaan pro-Israel.  (Foto: Beawiharta/Reuters)

Seorang karyawan Unilever Indonesia sedang menata produk kecantikan di supermarket, 31 Oktober 2016. Majelis Ulama Indonesia pada 10 November 2023 mengeluarkan fatwa boikot produk Israel atau perusahaan pro-Israel. (Foto: Beawiharta/Reuters)

Hal serupa juga dilakukan Indri Wulandari, 35 tahun, warga Jakarta Timur.

Namun Vickry Hakim yang juga tinggal di Bekasi menilai boikot produk Israel bukanlah solusi bagi negara tersebut untuk menghentikan serangan terhadap warga Palestina di Gaza.

“Produk di Indonesia kebanyakan dari luar negeri, apalagi kalau kita memboikot produk Amerika, menurut saya TIDAK “Bisa karena sebagian besar kita menggunakan produk dari negaranya,” ujarnya.

Apakah ini efektif?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan ada dua faktor yang mempengaruhi efektivitas kampanye boikot produk yang berafiliasi dengan Israel. Pertama, tingkat ketaatan umat Islam terhadap fatwa MUI. Ia menilai meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun tidak semua orang menaati fatwa MUI.

“(Faktor kedua), ilmunya sendiri. Pengetahuan tentang produk yang dianggap berafiliasi dengan Israel atau mendukung agresi Israel. Pengetahuan ini juga terbatas. “Sebenarnya banyak produknya, banyak yang belum mengetahuinya dan menganggapnya biasa saja,” kata Faisal.

Mengingat fatwa MUI ini baru dikeluarkan dan belum disosialisasikan dengan baik, kemungkinan besar tidak akan efektif. Namun jika berita mengenai fatwa ini tersebar, dan dikaitkan dengan semakin banyaknya warga sipil di Gaza yang tewas akibat serangan Israel, maka seruan boikot tersebut akan efektif.

Seorang karyawan Unilever Indonesia menunjukkan pasta gigi merek Pepsodent buatan Unilever Indonesia di sebuah supermarket di Jakarta, 31 Oktober 2016. (Foto: Beawiharta/Reuters)

Seorang karyawan Unilever Indonesia menunjukkan pasta gigi merek Pepsodent buatan Unilever Indonesia di sebuah supermarket di Jakarta, 31 Oktober 2016. (Foto: Beawiharta/Reuters)

Lebih lanjut Faisal mengatakan, fatwa MUI ini bisa berdampak positif jika perusahaan-perusahaan Israel atau pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan Israel merasakan dampak boikot tersebut, dan kemungkinan akan memberikan tekanan kepada Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun sebaliknya, jika perusahaan Israel atau yang terkait dengan kepentingan Israel mempekerjakan WNI, maka penurunan penjualan akan berdampak pada penurunan produksi. Hal ini berpotensi mengakibatkan pengurangan pekerja, atau bahkan pemutusan hubungan kerja.

Faisal menilai, yang sebenarnya efektif adalah kerja sama dengan negara-negara yang menentang agresi Israel terhadap Gaza, untuk menerapkan embargo.

Sejumlah nama produk Israel, serta perusahaan yang dinilai pro-Israel beredar di media sosial. Ini termasuk McDonalds, KFC, Burger King, Pizza Hut, Coca-Cola, Pepsi, Nestle, Starbucks, Puma, Hewlett-Packard, Unilever, AXA, Siemens dan lain-lain.

Sejauh ini, hanya Turki yang terang-terangan menghapus produk CocaCola dan Nestle dari menu di seluruh restoran di negaranya.

Majelis Agung Nasional di parlemen Turki, Selasa (7/11) lalu memutuskan “untuk tidak menjual produk perusahaan pendukung Israel di restoran, kafetaria, dan toko di kampus.”

Keputusan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan produk yang dimaksud. Namun, kantor berita Reuters, Mengutip sumber di parlemen Turki, disebutkan kopi instan CocaCola dan Nestle menjadi satu-satunya merek yang dihapus dari menu restoran.

Dia juga mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan respons terhadap “kemarahan warga terhadap perusahaan-perusahaan yang mendukung Israel.” [fw/em]

Tinggalkan Balasan