Keluarga dan Kerabat Peringati Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan

Keluarga dan Kerabat Peringati Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan

Keluarga korban tewas tragedi Kanjuruhan memperingati satu tahun tragedi tersebut pada Minggu (1/10).

Sambil memegang foto anggota keluarga atau kerabatnya yang tewas dalam peristiwa terinjak-injak itu, mereka berkumpul di luar stadion Kota Malang, Jawa Timur.

“Karena Kanjuruhan itu TKP, jangan sampai barang buktinya hilang dan jangan sampai hilang dulu. Kalau masalah ini sudah selesai ya kan kalau Kanjuruhan dibongkar. Kalau masalah ini belum selesai ya jangan dibongkar dulu,” kata Rizal Putra Pratama yang kehilangan ayah dan adik laki-lakinya dalam kejadian tersebut.

Saat itu mereka datang untuk mendukung klub sepak bola Arema Malang.

Tak hanya ayah dan adik laki-lakinya, 28 hari kemudian Rizal juga kehilangan adik perempuannya yang berusia 13 tahun, Cahaya Meida Salsabila, yang dirawat karena demam berdarah.

Ia menuturkan, kondisi sang adik semakin melemah karena tak bisa menerima kepergian ayah dan kakaknya.

“Saya terus berjuang sebagaimana mestinya melalui hukum dan saya menuntut keadilan yang belum saya terima sama sekali, karena saya telah kehilangan ayah dan saudara perempuan saya. “Saya akan terus berjuang, bahkan sampai mati saya akan terus berjuang,” kata Rizal.

Meski stadion telah ditutup dan masyarakat tidak bisa mengakses gerbang tempat kejadian maut itu terjadi, namun masih banyak masyarakat yang berkumpul di luar untuk mendoakan para korban.

Tragedi terinjak-injak di Stadion Kanjuruhan, Malang merupakan salah satu tragedi olahraga terparah di dunia. Sebanyak 43 anak tewas dan sekitar 580 orang luka-luka dalam kejadian tersebut.

Kericuhan terjadi setelah Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang 3-2 dalam laga yang disaksikan 42.000 penonton pada 1 Oktober 2022. Polisi menembakkan gas air mata, termasuk ke arah tribun stadion hingga menimbulkan kepanikan di kalangan penonton.

Setahun sejak kejadian tersebut, pengadilan telah memvonis lima dari enam tersangka dengan tuduhan kelalaian yang menyebabkan kematian 135 orang.

Penyidikan telah dilakukan polisi dan tim independen yang dibentuk Presiden Joko Widodo.

Dua polisi yang awalnya dibebaskan oleh Pengadilan Surabaya kemudian divonis penjara oleh Mahkamah Agung.

Satu orang dijatuhi hukuman dua tahun penjara, sementara satu lagi dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara.

Mantan Komandan Brimob Polda Jatim itu dinyatakan bersalah dan divonis satu setengah tahun penjara, sedangkan eks anggota pengamanan Arema divonis satu tahun penjara.

Namun, beberapa kerabat korban menilai hukuman tersebut belum cukup dan mereka terus memperjuangkan keadilan.

Pada peringatan pertama insiden mematikan tersebut, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah untuk menyelidiki dan mengadili semua pihak yang bertanggung jawab.

Organisasi hak asasi manusia tersebut juga menyerukan evaluasi terhadap penggunaan kekerasan yang berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata. [rd/jm]

Tinggalkan Balasan