Penghormatan terhadap hukum internasional, menjaga kepercayaan, dan kerja sama konkrit menjadi tiga hal utama yang ditekankan Presiden Joko Widodo saat berbicara pada KTT ASEAN-China, Rabu (6/9). Jika hal ini diterapkan, menurut Jokowi, maka semua pihak bisa merasakan manfaatnya.
“Salah satunya dengan menghormati hukum internasional. Memercayai dan kerjasama konkrit ini bisa terwujud kekuatan positif untuk stabilitas dan perdamaian kawasan,” kata Jokowi.
Tahun 2023 menandai dua puluh tahun aksesi Tiongkok Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama (TAC), perjanjian persahabatan dan kerja sama yang disepakati untuk mewujudkan prinsip universal hidup berdampingan secara damai dan kerja sama antar negara di Asia Tenggara. TAC merupakan semacam “kode etik” yang mengikat secara hukum dalam hubungan antar negara di kawasan dan sekitarnya.
Jokowi mendorong semua pihak untuk dapat memaknai perjanjian tersebut dengan mewujudkan kerja sama konkrit yang saling menguntungkan, apalagi Tiongkok merupakan salah satu dari empat mitra dialog ASEAN yang memiliki status mitra strategis komprehensif.
Tiongkok: Ada perubahan besar, namun hubungan antar negara berada pada jalur yang benar
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pertahanan Nasional Tiongkok Li Qiang mengatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, Tiongkok dan ASEAN telah mengembangkan kekuatan yang saling bahu membahu, dan berkontribusi terhadap keberhasilan satu sama lain.
“Menghadapi perubahan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam satu abad terakhir, kami telah mencapai jalan yang benar dengan mewujudkan hubungan baik yang telah terjalin lama serta kemajuan dan kemakmuran bersama,” kata Perdana Menteri Li Qiang.
Lebih lanjut Li Qiang menyampaikan, kerja sama Tiongkok-ASEAN berkembang cukup pesat. Hal ini membuktikan bahwa kedua belah pihak mempunyai pemahaman yang sama mengenai kesulitan yang ada dan terus berupaya mencapai perdamaian, mempunyai aspirasi yang kuat terhadap pembangunan, dan melakukan tindakan nyata untuk menjaga stabilitas kawasan.
“Selama kita tetap berada pada jalur yang benar, apapun badai yang mungkin terjadi, kerja sama Tiongkok-ASEAN akan tetap kokoh dan terus maju dalam menghadapi segala hambatan dan akan mencapai perkembangan dan kemajuan yang lebih besar melalui kerja sama ini,” tegasnya.
Menlu RI Jelaskan ACFTA 3.0
Pada kesempatan lain, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengungkapkan bahwa pada pertemuan ASEAN-China, para pemimpin sepakat untuk memperkuat kerja sama ekonomi dengan meningkatkan hubungan ASEAN-China. Kawasan Perdagangan Bebas atau ACFTA menjadi 3.0.
“Mengapa 3.0? “Karena itu termasuk kerja sama baru, misalnya di bidang digital economy, green economy, dan supply chain,” kata Retno.
ASEAN-Tiongkok Kawasan Perdagangan Bebas (ACFTA) 3.0 merupakan perluasan dari perjanjian serupa pada tahun 2010 (ACFTA versi 1.0 yang fokus pada penerapan tarif nol pada lebih dari 90 persen barang kedua belah pihak) dan tahun 2019 (ACFTA versi 2.0 yang fokus pada perluasan akses pasar). ACFTA 3.0 – yang didasarkan pada kebutuhan saat ini dan kerja sama ASEAN-Tiongkok – lebih menekankan pada ekonomi digital yang didorong oleh inovasi, dan ekonomi hijau yang didorong oleh pembangunan berkelanjutan.
Berbicara kepada wartawan di Jakarta, Retno mengatakan para pemimpin ASEAN dan Tiongkok menyambut baik percepatan perundingan kode etik (Kode etik/CoC) di Laut Cina Selatan.
Beberapa Perjanjian Kerja Sama
KTT ASEAN-China kali ini menghasilkan beberapa perjanjian kerja sama yang tertuang dalam enam dokumen.
Dokumen pertama yang diadopsi adalah ASEAN-China Pernyataan Bersama tentang Kerja Sama yang Saling Menguntungkan dalam Outlook ASEAN di Indo-Pasifik (AOIP) yang berisi kesepakatan untuk mendorong kerja sama konkrit penerapan AOIP antara lain di bidang maritim, transisi energi, infrastruktur, kota pintar, perdagangan elektronik dan UMKM.
“Untuk mencapai kerja sama AOIP dengan Tiongkok, ini bukanlah proses yang mudah. Ini merupakan proses bertahap melalui pembicaraan komunikasi dengan mereka dan pada akhirnya kita menyepakati kerjasama antara ASEAN-PRC (Republik Rakyat Tiongkok-red) dalam rangka penerapan AOIP, dan tentunya ASEAN menyambut baik dukungan Tiongkok terhadap AOIP yang menekankan dari memulai kerja sama yang inklusif, dan kerja sama yang konkrit,” jelasnya.
Dokumen kedua yang diadopsi adalah ASEAN-China Pernyataan Bersama tentang Memperdalam Kerja Sama Pertanian yang berisi perjanjian kerja sama untuk menjadikan pertanian sebagai “mesin pertumbuhan baru” untuk membangun ketahanan pangan.
Dokumen selanjutnya yang dicatat dalam pertemuan ini adalah ASEAN-China Rencana Aksi Pembangunan Pertanian Hijau yang bertujuan untuk meningkatkan nilai kompetitif produk pertanian ASEAN di tengah rantai pasok global.
Juga ASEAN-Tiongkok Inisiatif Bersama Meningkatkan Kerja Sama di Bidang E-commerce yang bertujuan untuk mendorong kerja sama perdagangan elektronik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang meyakinkan dan mengurangi kesenjangan pembangunan regional.
“Dokumen selanjutnya adalah Gpedoman untuk Mempercepat Kesimpulan Dini Kode Etik yang Efektif dan Substantif di Laut Cina Selatan. “Tadi saya sampaikan tujuannya untuk mempercepat penyelesaian perundingan CoC dengan hasil yang efektif dan subtantif,” kata Retno.
Yang terakhir adalah dokumennya Inisiatif Bersama untuk Memajukan Ilmu Pengetahuan Tiongkok-ASEAN, Program Peningkatan Teknologi dan Inovasi “yang bertujuan untuk memperkuat kerja sama transfer teknologi, penelitian bersama mengenai isu-isu strategis, seperti industri 4.0, infrastruktur digital, dan energi bersih,” tegasnya.
Retno tidak menjawab pertanyaan KILAT NUSANTARA soal perlu atau tidaknya peta baru yang dirilis China pekan lalu yang memicu kontroversi itu dibahas.
Diplomasi Menyelamatkan Wajah
Pengamat ASEAN di Badan Riset Nasional (BRIN) Pandu Prayoga menyatakan, imbauan Jokowi agar semua pihak menghormati hukum internasional tanpa menyebut pihak tertentu secara spesifik, merupakan ciri diplomasi Asia Tenggara yang cenderung tetap menghormati satu sama lain. Meski begitu, ia yakin dalam pertemuan tersebut akan ada sejumlah isu sensitif seperti peta baru China.
“Karena ciri diplomasi Asia Tenggara adalah melindungi muka dengan Tiongkok. Berbeda dengan Amerika Serikat. Jadi selamatkan muka atau jangan mempermalukan salah satu pihak di depan umum. Jadi tidak sejelas Amerika yang bilang, misalnya China tolong patuhi hukum internasional, langsung sebutkan saja, ujarnya.
“Tapi kalau diplomasi, kita jaga kehormatan tamu, jaga kehormatan mitra dengan mengatakan kita semua harus patuh tanpa harus menyebut negara tertentu. Tapi masyarakat akan tahu arahnya ke mana,” imbuh Pandu.
Pandu menduga seruan tersebut hanya untuk mendorong solusi dialog CoC di Laut Cina Selatan.
“Meski banyak pihak yang pesimistis hal ini akan terselesaikan, namun dengan adanya perjanjian CoC ini berarti ke depan kita bisa mengurangi potensi konflik terhadap kerja sama. Daripada bersaing, sebaiknya kita fokuskan tenaga untuk bekerja sama,” tutupnya. [gi/em]