Dikepung Limbah, Petaka Bubu Rajungan

KILATNUSANTARA.COM, Jakarta: Lautku tak lagi biru, burung camarku tak lagi berisik, jaringmu tak lagi rapat, karangku tak lagi keras, ombakmu tak lagi liar. Beberapa lirik lagu “Lautku tak lagi biru” mencerminkan kondisi sejumlah lautan di Indonesia saat ini.

Ditulis musisi Ivan Fals 42 tahun lalu, kondisi tersebut konon muncul akibat faktor manusia yang kurang peduli terhadap bumi. Limbah pabrik dan tempat sampah menjadi perhatian,

Hal ini berdampak pada nelayan kecil. Ikan dikubur, kepiting lari, jaring diangkat, ikan tak terlihat.

Dalam rangka Hari Laut Sedunia, RRI mencoba melihat langsung kenyataan yang ada di kawasan pesisir Jakarta, Sabtu (6/8/2024). Benar sekali, laut tercemar dengan mata telanjang.

Bau busuk menusuk hidungku. Nelayan kecil di Tanjung Priok tersandung.

Seperti yang Rusli rasakan. Kepada RRI, pria yang kerap disapa Abah itu mengatakan, laut lepas pantai Jakarta sudah beberapa tahun terakhir kotor.

Abah telah menjawab dugaan alasan yang selama ini kita pertanyakan. Banyak pabrik yang membuang limbahnya ke laut.

“Banyak pabrik yang beroperasi di tepi pantai. Juga karena pembangunan tol,” kata Abach sambil mengusap dada.

Nelayan Tanjung Ryok kumpulkan kepiting yang hasil tangkapannya semakin menipis (Foto: RRI)

Pemburu kepiting ini mencoba memutar balik waktu. Saat Anda masih muda, menemukan kanker sangatlah mudah.

Tidak perlu pergi jauh dari pantai. Hasil tangkapannya bisa membuat dapur tersedak setidaknya selama seminggu.

“Di sini tidak bisa (mencari kepiting) di pinggir, semua dipenuhi sampah. “Kankernya sudah mati,” kata Abach sambil menggelengkan kepalanya.

Namun saat ini, kata Abach, apalagi di dekat pantai, meski sudah melaut, hasil tangkapannya jauh dari yang diharapkan. Dengan menggunakan speedboat, biasanya dibutuhkan perjalanan yang cukup jauh untuk mencapai tengah laut.

“Saya biasanya berangkat subuh. “Perjalanan ke tengah (laut) bisa memakan waktu perjalanan sehari, bisa 8 hingga 12 jam baru sampai (ke tengah laut),” kata Rusli.

Rendahnya kualitas hasil tangkapan menyebabkan harga jual turun drastis. “Harga jual kembali turun. “Dulu dijual Rp 90-100 ribu per kilo, sekarang hanya Rp 50-60 ribu (per kilo),” kata Abah Rusli.

“Hasilnya dijual ke pengepul. Kepitingnya kemudian dikemas dan dikirim ke pasar.”

Kondisi air laut di lepas pantai Jakarta berwarna hitam karena diyakini tercemar limbah (Foto: RRI/Shabrina Anugrah Esya)

Menurut pria yang rambutnya nyaris putih ini, perairan di Jakarta Pusat masih bersih. Sementara itu, banyak pencemaran limbah di pinggirnya.

Selain pencemaran laut, Rusli juga mengeluhkan mahalnya harga solar. “Solar itu mahal, sedangkan harga rajungan murah, tidak sebanding dengan pendapatan,” ujarnya.

Abah dan ratusan nelayan Tanjung Priok hanya bisa berharap pemerintah mengambil langkah nyata. Mengembalikan kepiting berkualitas ke tepi pantai.

Sambil tertawa kembali, mereka turun dari perahu dan membawa makanan mereka kembali ke rumah. Jadikan lautku biru kembali.


Tinggalkan Balasan